loading...

KENDALA DALAM IMPLEMENTASI UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DALAM PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DI SITUS MANUSIA PURBA SANGIRAN

KENDALA DALAM  IMPLEMENTASI UNDANG – UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA DALAM PELESTARIAN CAGAR BUDAYA DI SITUS MANUSIA PURBA SANGIRAN
Syahrul Rahman Syah
(Rahmansyah@student.uns.ac.id)
 
By Google Images


Abstrak

Adapun yang menjadi latar belakang dalam penulisan jurnal ini dikarenakan belum optimalnya implementasi Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dalam upaya pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran  yang dilakukan oleh BPSMP Sangiran sehingga dalam tujuan pelestarian sebuah cagar budaya yang diharapkan belum maksimal. Penulisan jurnal ini bertujuan untuk mengidentifikasi kendala yang dihadapi oleh BPSMP Sangiran dalam mengimplementasikan  Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dalam upaya pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Metode yang digunakan dalam penulisan jurnal ini adalah jenis penelitian hukum empiris dengan sifat penelitian deskriptif dan pendekatan penelitian kualitatif. Situs Manusia Purba Sangiran  yang telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia mengharuskan pelaksanaan usaha-usaha pelestariannya secara komprehensif, integral, dan sistematis. Namun dalam prosesnya dapat dijumpai beberapa permasalahan yang juga menjadi kendala dalam implementasi dari aturan yang berlaku sehingga dapat mengancam keberlangsungan Situs.

Kata Kunci : Kendala, Implementasi, Cagar Budaya, Sangiran

Abstract

As for the background in writing this journal due to the lack of optimal implementation of Law No. 11 of 2010 concerning Cultural Heritage in the effort to preserve the Sangiran Ancient Human Site conducted by BPSMP Sangiran so that in the aim of preservation of an expected cultural preserve is not optimal. The writing of this journal aims to identify the obstacles faced by BPSMP Sangiran in implementing Law No. 11 of 2010 concerning Cultural Heritage in the effort to preserve the Sangiran Early Man Site. The method used in writing this journal is a type of empirical legal research with the nature of descriptive research and qualitative research approaches. The Sangiran Ancient Human Site that has been established by UNESCO as a World Cultural Heritage requires the implementation of its conservation efforts in a comprehensive, integral and systematic manner. However, in the process several problems can be encountered which also become obstacles in the implementation of the applicable rules so that they can threaten the sustainability of the Site

Keywords: Constraints, Implementation, Cultural Heritage, Sangiran

Pendahuluan

Situs Sangiran terletak di kaki Gunung Lawu, tepatnya di depresi Solo sekitar 17 km ke arah utara dari kota Solo dan secara administratif terletak di wilayah Kabupaten Sragen dan sebagian terletak di Kabupaten Karanganyar, Propinsi Jawa Tengah. Luas wilayahnya ± 56 Km² yang mencakup tiga kecamatan di Kabupaten Sragen yaitu Kecamatan Kalijambe, Kecamatan Gemolong, dan Kecamatan Plupuh serta Kecamatan Gondangrejo di Karanganyar. Secara astronomi terletak pada 7°25’ – 7°30’ LS dan pada 4° – 7°05’ BT (Moelyadi dan Widiasmoro, 1978). Situs Sangiran merupakan salah satu peninggalan sejarah yang sangat penting di indonesia maupun di dunia. Sangiran meiliki nilai penting karena penemuan sisa – sisa Homo Erectus berasosiasi dengan artefak yang dikenal dengan nama Sangiran Flake Industry (Yahdi Zaim et all,2011). Bahkan sudah mendapatkan pengakuan dari UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Selain itu Situs Sangiran juga menjadi salah satu sumber ilmu pengetahuan yang sangat bernilai penting bagi perkembangan kehidupan manusia saat ini , bukan hanya terfokus menjelaskan mengenai perkembangan yang terjadi pada evolusi manusia tetapi juga dapat menjadi sumber informasi dari perubahan – perubahan iklim maupun keadaan alam yang terjadi dikawasan tersebut selama jutaan tahun lamanya sampai dengan masa saat ini. Pelestarian Situs Sangiran penting dilakukan agar semua nilai penting yang terkandung di dalamnya dapat terus dipelajari, dimanfaatkan, dan diwariskan kepada generasi yang akan datang.
Saat ini Situs Sangiran dikelola oleh Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran (BPSMP Sangiran)  dengan berpedoman pada Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Namun dalam upaya pelestarian yang dilakukan terhadap Situs Sangiran saat ini oleh BPSMP Sangiran masih belum optimal sesuai dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dikarenakan berbagai hal. Berdasarkan uraian tersebut maka permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah kendala apakah yang dihadapi dalam  implementasi Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dalam pelestarian cagar budaya di Situs Manusia Purba Sangiran ?

Metode Penelitian
Jenis Penelitian
Untuk menjawab isu hukum mengenai kendala apakah yang dihadapi dalam  implementasi Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dalam pelestarian cagar budaya di Situs Manusia Purba Sangiran menggunakan metode penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris adalah penelitian yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala sosial tertentu dengan jalan menganalisanya. Selain itu, juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta sosial tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan yang timbul dari gejala yang bersangkutan (Soerjono Soekanto, 2010: 52).
Sifat Penelitian
Penelitian yang dikaji penulis dalam penelitian ini merupakan penelitian bersifat deskriptif. Penelitian hukum deskriptif adalah penelitian yang memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan gejala tertentu. Suatu penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin mengenai manusia, keadaan, atau gejala-gejala lainnya (Soerjono Soekanto, 2014: 10).
Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif ini merupakan suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan perilaku nyata (Soerjono Soekanto, 2014: 32).
Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Data Primer
Sumber data primer yang dipakai dalam penelitian ini adalah dengan akan melakukan wawancara dan observasi di Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran ( BPSMP Sangiran )
Data Sekunder
Sumber data sekunder digunakan untuk melengkapi dan mendukung sumber data primer yang dapat dikelompokkan menjadi: (Soerjono Soekanto, 2014: 50-51)
Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum bagi pihak-pihak yang berkepntingan. Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan antara lain:
Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2016 Tentang Rincian Tugas Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran
Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah berupa bahan-bahan yang memberikan kejelasan mengenai bahan hukum primer diantaranya yaitu buku atau literature yang berkaitan dengan cagar budaya

Teknik Pengumpulan  Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan melakukan studi lapangan dan studi kepustakaan.
Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam suatu analisis tidak dapat dipisahkan dengan jenis data yang digunakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif maka data yang telah dikumpulkan dianalisis secara kualitatif pula.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hasil Penelitian
Sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 31 tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, BPSMP Sangiran mempunyai tugas melaksanakan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaaan situs manusia purba. Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 tersebut, Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran di antaranya menyelenggarakan fungsi:
Penyelamatan dan pengamanan situs manusia purba beserta kandungannya
Pelaksanaan zonasi situs manusia purba
Perawatan dan pengawetan situs manusia purba beserta kandungannya
Pelaksanaan pengembangan situs manusia purba
Pelaksanaan pemanfaatan situs manusia purba
Pelaksanaan dokumentasi, penyajian koleksi, dan publikasi situs manusia purba
Pelaksanaan kemitraan di bidang situs manusia purba; dan
Pelaksanaan urusan ketatausahaan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran

Struktur organisasi Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran sesuai dengan Permendikbud No 31 Tahun 2015 terdiri dari Kepala dan unit kerja Sub Bagian Tata Usaha, Seksi Pemanfaatan, Seksi Pelindungan dan Seksi Pengambangan. Sesuai dengan Pasal 5 Permendikbud No 31 Tahun 2015, Subbagian Tata Usaha mempunyai tugas melakukan urusan perencanaan, keuangan, kepegawaian, ketatalaksanaan, hubungan masyarakat, persuratan dan kearsipan, barang milik negara, dan kerumahtanggaan Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran. Seksi Pelindungan mempunyai tugas melakukan urusan penyelamatan, pengamanan, zonasi, perawatan, pengawetan, dan kemitraan di bidang pelindungan situs manusia purba beserta kandungannya. Seksi Pengembangan mempunyai tugas melakukan urusan penelitian, revitalisasi, dan kemitraan di bidang pengembangan situs manusia purba. Seksi Pemanfaatan mempunyai tugas melakukan urusan penyajian koleksi, pendokumentasian, penyebarluasan informasi, dan kemitraan di bidang pemanfaatan situs manusia purba.
Namun dalam pelaksanaan pelestariannya di lapangan dengan dasar aturan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya masih terdapat ketidaksesuaian mengingat karakteristik yang unik di Situs Sangiran karena hampir 90% kawasannya berada dalam lahan yang dikuasai oleh masayarakat. Salah satu permasalahan yang terjadi seperti sistem zonasi yang diterapkan berbeda dengan ketentuan dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar dan belum adanya kepastian di masyarakat yang masuk kedalam zonasi tersebut tentang kegiatan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan.

Dalam hal ini Seksi Perlindungan BPSMP Sangiran, Haryono, S.H menyampaikan bahwa :
“Sampai saat ini mas, di Situs Sangiran masih menerapkan Zonasi dengan sistem yang lama yaitu ditetapkan dalam tiga zona, hal ini pun memang tidak sesuai dengan peraturan di UU Cagar Budaya tahun 2010 yang merumuskan menjadi empat zona. Sampai saat ini mas ,dari pihak kita bersama dengan masyarakat masih melakukan kajian untuk menetapkan zonasi terbaru yang sesuai dengan peraturan, karena mengingat mayoritas lahan di kawasan situs ini hampir 90% dimiliki oleh masyarakat maka kesejahteraan masyarakat disini juga harus diperhatikan dan satu lagi mas dalam UU Cagar Budaya tahun 2010 ini sampai sekarang juga belum mengatur secara jelas mengenai apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di zona – zona tersebut, hanya berdasakan kajian dari kami saja untuk menentukan hal tersebut”(Wawancara, 13 Mei 2019)

Sangat dikhawatirkan hal ini berpotensi menimbulkan konflik langsung antara pihak pengelola dengan masyarakat


Pembahasan.
Sejak ditetapkan statusnya menjadi Cagar Budaya, Pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan pelestarian secara sistematis terhadap Situs Sangiran demi menjaga nilai – nilai penting yang terkandung di dalamnya serta keberlansungan Situs itu sendiri dengan memperhatikan asas – asas pelestarian, sehingga mempunyai nilai dan manfaat yang dapat dirasakan oleh masyarakat. Dengan kata lain selain nilai-nilai penting dan luarbiasa yang ada pada Situs Sangiran harus tetap lestari dan meningkat, keberadaan Situs Sangiran juga harus berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakatnya.
Harus disadari bahwa pelestarian Situs Sangiran merupakan tugas dan tanggung jawab yang tidak mudah. Karena selain memiliki nilai-nilai yang potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan yang positif, Situs Sangiran juga memiliki permasalahan yang potensial menimbulkan konflik dalam pelestariannya. Permasalahan utama yang terdapat di Situs Sangiran merupakan permasalahan yang khas, unik dan sama sekali lain apabila dibandingkan dengan permasalahan pada cagar budaya sejenis. Permasalahan-permasalahan yang ada tersebut dapat dikategorisasikan sebagai permasalahan geografis-geologis, permasalahan sosial, ekonomi, budaya, dan permasalahan kebijakan (policy).
Permasalahan Geografis-Geologis
Permasalah Geografis-Geologis merupakan permasalahan pelestarian cagar budaya yang timbul berdasarkan keadaan atau karakteristik bentang alam di lokasi keberadaan cagar budaya yang dapat menimbulkan ancaman bagi kelestarian suatu cagar budaya. Penulis telah melakukan observasi di wilayah Situs Sangiran dan melihat secara langsung bahwa kondisi geografis-geologis di Situs Sangiran yang berbukit-bukit terdiri dari lapisan batuan yang mudah longsor dan tererosi terutama pada saat musim penghujan tiba. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya perubahan lapisan tanah atau bentang lahan maupun perpindahan fosil dan artefak yang terkandung didalamnya akibat dari longsor dan erosi tadi.
Selain hal tersebut kondisi geografis-geologis di Situs Sangiran yang berbukit – bukit  dan juga lapisan batuan yang mudah bergeser juga menyulitkan pengembangan dikawasan ini, seperti pembangunan insfrastruktur jalan sebagai akses menuju klaster – klaster dikawsan Situs Sangiran yang rawan rusak karena terjadi pergeseran tanah, sehingga dapat mengurangi daya tarik sebagai destinasi wisata karena akses yang kurang baik.

Permasalahan Sosial, Ekonomi dan Budaya  
Hampir keseluruhan lahan yang berada di wilayah yang masuk Situs Sangiran dikuasai oleh masyarakat oleh karena itu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi proses pelestarian Situs Sangiran karena rawan akan munculnya konflik dalam prosesnya, aktivitas Situs yang tidak steril karena aktivitas masyarakat juga dapat mengancam kelestarian Situs misalnya seperti kondisi tanah di Situs Sangiran yang sebagian besar gersang dan tandus sehingga tidak subur untuk pertanian. Kondisi ini seringkali memicu keinginan masyarakat untuk melakukan perataan lahan, dan dalam tingkat tertentu sampai pada kegiatan penambangan Galian C yakni tanahnya dijual sebagai tanah urug. Tingkat ekonomi dan pendidikan masyarakat di lingkungan Situs yang masih rendah juga belum meratanya pemahaman masyarakat akan pentingnya nilai Situs Sangiran serta sifat temuan yang mudah dipindahkan mendorong terjadinya pencurian, penggelapan, dan jual beli fosil baik dilakukan perorangan maupun sindikat pencurian fosil.
Meskipun telah dibuat kebijakan sesuai dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya melalui pemberian kompensasi bagi masyarakat yang menemukan dan melaporkan temuan fosil, justru masyarakat memanfaatkan hal tersebut dengan sengaja melakukan pencarian fosil dengan cara – cara yang dapat merusak fungsi dan tata ruang Situs. Hal ini terjadi karena banyak masyarakat Situs Sangiran yang berpandangan bahwa fosil yang mereka temukan lebih bernilai secara ekonomis dan praktis karena belum optimalnya pemanfaatan potensi Situs Manusia Purba dan Benda Cagar Budaya untuk Kesejahteraan Masyarakat.

Permasalahan Kebijakan atau Policy
Permasalahan kebijakan di dalam pelestarian Situs Sangiran sampai saat ini menjadi permasalahan terbesar yang dihadapi oleh pihak BPSMP Sangiran. Karena menjadi instrumen dasar dalam setiap kegiatan pelestarian yang dilakukan. Permasalahan yang menjadi fokus saat ini adalah belum terealisasinya sistem zonasi cagar budaya yang sesuai dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yakni terbagi dalam empat zona, yaitu zona inti , zona penyangga , zona pengembangan dan zona penunjang namun dalam prakteknya saat ini sistem zonasi yang diterapkan di Situs sangiran masih menggunakan sistem yang lama yakni tiga zona saja tanpa adanya zona penunjang. Hal ini pun menjadi problematika tersendiri karena tidak sesuai dengan aturan yang ada dalam Undang – Undang.
Dalam praktenya selama ini pun juga menimbulkan konflik dengan masyarakat di Situs Sangiran, karena dalam Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya juga tidak mengatur secara jelas perihal apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan masyarakat dalam zona tersebut, pihak BPSMP Sangiran selaku lembaga yang berwenang dan bertanggung jawab dalam pengelolaan Situs Sangiran terpaksa merumuskan sendiri mengenai aturan tersebut untuk menjaga kelestarian Situs Sangiran seperti larangan mengubah fungsi dan struktur ruang di kawasan zona inti Situs Sangiran namun mengingat mayoritas penguasaan lahan dikuasai oleh masyarakat, maka dari pihak masyarakat pun merasa dibatasi sehingga kesejahteraan mereka terganggu. Oleh karena itu masyarakat juga menuntut untuk adanya kepastian dalam pelestarian Situs Sangiran ini dan sesuai dengan tujuan dari pelestarian situs ini adalah juga untuk meningkatkan kesejahteran masyarakat. Pada tahun 2019 ini baru diadakan kajian bersama masyarakat guna merealisasikan sistem zonasi sesuai dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dan menyelesaikan permasalahan tersebut.  

Kesimpulan
Kendala yang dihadapi BPSMP Sangiran mengenai implementasi pelestarian Situs Sangiran sesuai dengan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya terdiri dari tiga permasalahan yaitu Permasalahan Geografis-Geologis mengenai lokasi Situs Sangiran yang terdiri dari perbukitan yang mudah longsor. Permasalahan Sosial, Ekonomi, Dan Budaya, dimana hampir seluruh lahan yang berada di Situs Sangiran berada dan dikuasai oleh masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang mayoritas masih kurang serta belum meratanya pemahaman mengenai nilai penting Situs Sangiran sehingga memicu kegiatan illegal oleh masyarakat dengan tujuan ekonomi  dan terakhir Permasalahan Kebijakan (Policy), dasar hukum yang digunakan dalam upaya pelestarian BPSMP Sangiran saat ini menggunakan Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang hanya berisi ketentuan – ketentuan dasar dimana terdapat ketidak relevanan seperti belum diaturnya mengenai tindakan yang diperbolehkan dan dilarang dalam sistem zonasi yang kemudian menimbulkan ketidakpastian pada masyarakat di Situs Sangiran karena lahan yang mereka miliki masuk kedalam zonasi tersebut. Hal inilah yang menghambat BPSMP Sangiran saat ini untuk menerapkan zonasi yang sesuai dengan undang – undang.  
Saran
Kepada BPSMP Sangiran, untuk dapat dilakukan penyebaran informasi yang lebih merata kepada masyarakat yang tinggal dan memiliki lahan di wilayah Situs sangiran baik melalui sosialisasi rutin atau pelibatan secara masyarakat langsung kedalam proses pelestarian lebih sering , sehingga pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap nilai – nilai penting yang terkandung di dalam Situs Sangiran tumbuh bukan hanya nilai ekonomis saja.
Kepada Pemerintah, agar segera membuat rumusan Peraturan Pemerintah (PP) Tentang Pelestarian Cagar Budaya sebagai pelaksanaan dari Undang – Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya yang akan menjadi pedoman pelaksanaan pelestarian cagar budaya di Indonesia.
Kepada Masyarakat luas dan khususnya yang tinggal disekitar Situs Sangiran untuk lebih berperan aktif dalam mengawasi dan menjaga kelestarian dari Situs sangiran. Sehingga salah satu tujuan dari pelestarian cagar budaya yaitu untuk kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.












Daftar Pustaka
Buku
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Pers, 2014
Jurnal dan Publikasi Ilmiah
Moelyadi dan Widiasmoro, “Laporan Penyelidikan Geologi Daerah sangiran Jawa Tengah,” (Jogjakarta: Bagian Teknik Geologi Fakultas Teknik UGM) 1978, lampiran
Zaim, Yahdi et all.2011.”New 1.5 million year old Homo Erectus Maxilla From Sangiran (Central Java, Indonesia)”Journal of Human Evolution Vol 4.Hal 363-376
Peraturan Perundang – Undangan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2015 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 33 Tahun 2016 Tentang Rincian Tugas Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran



Komentar

Postingan Populer