loading...

Alas Krendhawahana : Benteng Perlindungan Gaib Keraton Kasunanan Surakarta Sarat Akan Tradisi dan Makna



K
ali ini petualangan berlanjut setelah kemarin melipir jauh ke daerah Batu, Jawa Timur menikmati suasana khas pegunungan di Omah Kayu. Pada kesempatan kali ini kita akan mengunjungi salah satu hutan atau alas. Mungkin kawan – kawan jika mendengar kata alas akan langsung teringat dengan dua hutan yang terkenal karena cerita mitos serta keangkerannya di Pulau Jawa, yak tidak salah lagi Alas Purwo di ujung timur Pulau Jawa dan Alas Roban di Jawa Tengah.
Masih di wilayah Jawa Tengah dan tidak kalah “semenyeramkan” dengan kedua alas tadi, kali ini kita akan berkunjung ke Alas Krendhawahana. Saya yakin masih banyak diantara kawan – kawan yang asing dengan alas ini tetapi saya berani menjamin di alas ini akan banyak kisah menarik yang dapat diceritakan.

Lokasi Alas Krendhawahana
Krendhowahono.sideka.id

Alas Krendhawahana berlokasi di wilayah Desa Krendhawahana Kecamatan Gondangrejo Kabupaten Karanganyar. Dari kota Solo dapat ditempuh kurang lebih sekitar 30 menit, Alas ini masih berada dalam kawasan Cagar Budaya Situs Manusia Purba Sangiran. Dahulu alas ini sering disebut dengan “Setra Ganda Mayit” atau tanah yang berbau mayat karena konon ceritanya memang dahulu tempat ini sering digunakan untuk menaruh mayat begitu saja tanpa dikuburkan. Oleh sebab itu dahulu banyak orang yang takut untuk datang atau melintas disini sampai lahirlah ungkapan “Jalma Mara Jalma Mati” atau Kamu datang kamu mati.

Empat Arah Mata Angin Perlindungan Keraton Kasunanan Surakarta
Karena “kengeriannya” tersebut tak heran jika Alas krendhawahana menjadi salah satu dari empat wilayah yang dipercaya sebagai pelindung gaib Keraton Kasunanan Surakarta. Konsep perlindungan gaib Keraton Kasunanan Surakarta sendiri mengusung konsep sesuai dengan arah mata angin dimana Alas Krendhawahana berada di wilayah utara Keraton dan dipercaya dikuasai oleh Kanjeng Ratu Bathari Durga atau Kalayuwati sebagai ratu lelembut.
Arah Selatan berada dikawasan Pantai Selatan yang dikuasai oleh Kanjeng Ratu Kencanasari atau yang lebih dikenal sebagai Nyi Roro Kidul. Sebelah barat berada dikawasan Gunung Merapi dengan Kanjeng Ratu Mas dipercaya sebagai pelindungnya dan terakhir disebelah timur berada dikawasan Gunung Lawu dengan Kanjeng Sunan Lawu dipercaya sebagai pemegang kekuasaan tertingginya. Dikawasan ini sering juga dilakukan ritual – ritual khusus oleh Keraton Kasunanan Surakarta setiap tahunnya, salah satunya adalah upacara Mahesa Lawung yang dilakukan di Alas Krendhawahana.

Upacara Mahesa Lawung
Teraswisata.com

Upacara Mahesa Lawung ini dipercaya sudah ada sejak zaman Syailendra dan Sanjaya karena terdapat di Arca Durga Mahesa Suramandini. Bahkan Alas Krendhawahana sebagai lokasi ritual pun sudah tersohor sejak zaman Kerajaan Kediri karena tercantum di Serat Ajian Jangka Jayabaya.
Upacara ini biasa diadakan setiap tahun tepatnya pada bulan Rabiul Akhir di hari senin atau kamis maupun 40 hari setelah Grebeg Maulud. Dalam pelaksanaannya upacara ini sudah mengalami penyesuaian karena terpengaruh budaya islam sejak zaman Kerajaan Demak. Inti utama dari Upacara Mahesa Lawung ini adalah mengubur kepala kerbau, kaki dan jeroan lengkap di Alas Krendhawahana.
Proses upacara ini diawali dengan menyiapkan sesaji termasuk kepala kerbau tadi di dapur Keraton Gondorasan, selanjutnya sesaji yang telah siap tersebut dibawa menuju Sasana Maliki untuk didoakan di Sitinggil, setelah selesai didoakan selanjutnya dibawa menuju lokasi upacara di Alas Krendhawahana. Setelah sampai di Alas Krendhawahana kemudian para Abdi Dalem duduk bersila membaur jadi satu, silih bergantian Sentono Dalem atau Kerabat Keraton naik ke sebuah Punden Batu yang terdapat di Alas ini untuk memanjatkan doa pada yang Maha Kuasa. Kemudian setelah selesai berdoa, kepala kerbau tadi yang sudah disiapkan dikubur disamping Punden Batu. Kemudian upacara ditutup dengan Kenduri atau menikmati makanan bersama – sama.

Lokasi Menarik di Alas Krendhawahana
Selain Punden Batu tadi tempat untuk memanjatkan doa saat Upacara Mahesa Lawung yang dipercaya sebagai singgasana dari Kanjeng Ratu Bathari Durga. Terdapat sebuah mata air yang bernama Sendang Sihna, pada zaman dahulu sendang ini digunakan sebagai pesiraman atau tempat mandi oleh Raja Keraton Kasunanan Surakarta Sri Pakubuwono VI sampai X saat menyepi ditempat ini. Tak hanya itu hal yang menarik dari sendang ini adalah airnya dipercaya bisa menyembuhkan segala penyakit dan juga bisa membuat awet muda tanpa perawatan sama sekali. Bahkan tertulis pada Serat Sudamala air ini memang afdolnya digunakan untuk kaum perempuan yang sedang bermasalah mungkin dalam hal asmara misalnya. Sangat menarik memang, mungkin kawan – kawan ada yang berminat untuk datang kesini ?
Ada satu lagi lokasi menarik yang terdapat di alas ini, terdapat sebuah batu yang dinamakan dengan Batu Gilang Selakandha Waru Binangun. Yang menarik dari tempat ini dahulu sering digunakan oleh Sri Pakubuwono VI ,Pangeran Diponegoro, Raden Tumenggung Prawiro Digdoyo serta para Senapati Perang untuk melakukan pertemuan rahasia guna mengatur siasat dalam menghadapi Kolonial Belanda. Dari tempat ini pula lahirlah dua orang Senapati Perang Wanita yang tangguh yakni Dewi Mariyah dan Dewi Marwiyah. Selain sakral Alas Krendhawahana ini juga sarat akan sejarah perjuangan bangsa dalam menghadapi penjajahan dahulu kala. Satu lagi fakta menarik dari masyarakat sekitar konon dahulu seorang sosok pemimpin bangsa Soekarno dan juga Soeharto pernah menyepi di Alas Krendhawahana ini.

Makna Tradisi Yang Terlupa 

Saya meyakini mungkin terdapat pandangan kawan – kawan yang menganggap upacara khusus tersebut bentuk dari sebuah kemusryikkan meskipun ini adalah sebuah budaya atau tradisi, tidak ada yang salah dari pandangan tersebut karena itu merupakan hak pribadi seseorang untuk berpendapat. Dalam tradisi di Jawa khususnya yang dilakukan bukan hanya sekedar seremonial saja bahkan mulai dari cara berpakaian pun terdapat banyak makna didalamnya yang mungkin orang lupa atau tak tahu sama sekali perihal ini, begitupun dengan Upacara Mahesa Lawung tadi.
Upacara Mahesa Lawung pada hakikatnya bertujuan untuk menyelaraskan alam dengan nasib manusia serta memohon perlindungan bagi bangsa Indonesia pada umumnya dari mara bahaya dan juga sebagai bentuk peringatan perpindahan Keraton Kasunanan Surakarta dari Kartasura menuju Desa Sala atau yang lebih dikenal sebagai Kota Solo sampai saat ini. Kata” Mahesa” sendiri berarti Kerbau sedangkan “Lawung” memiliki arti Jantan. Hal ini memiliki implikasi dengan pemilihan kerbau yang digunakan sebagai sarana upacara yakni harus kerbau jantan yang belum kawin dan tidak pernah dipekerjakan sebelumnya. Kerbau atau Kebo sendiri bagi masyarakat Jawa merupakan simbol dari kebodohan dan sifat buruk manusia, seperti ungkapan Bahasa Jawa “Longa – Longo Koyo Kebo”  jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia artinya tengak – tengok seperti kerbau, bentuk dari sebuah ketidaktahuan atau kebodohan. Lalu penggambaran sifat buruk manusia yang ada pada kerbau adalah kemalasan.
Jadi makna yang digambarkan dari Upacara Mahesa Lawung adalah bentuk dari mengubur sebuah kebodohan serta sifat buruk yang ada pada manusia seperti yang disimbolkan dengan mengubur kepala kerbau tadi.

Mungkin sedikit Safarnama (catatan perjalanan) yang bisa saya sampaikan kali ini. Bagaimana kalian bisa mencintai Indonesia jika kalian tidak mengenal dan melihatnya secara langsung..., mari berpetualang....     
                

Komentar

Postingan Populer