PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NON LITIGASI
Berikut
merupakan penjelasan mengenai definisi – definisi yang terkait dengan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2004
Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial :
Photo by Claudio Hirschberger on Unsplash |
Perselisihan
Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara
pengusaha
atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh
karena adanya perselisihan mengenai hak,
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Perselisihan
hak
adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya
perbedaan pelaksanaan
atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Perselisihan
kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam
hubungan kerja karena tidak adanya
kesesuaian
pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang
ditetapkan dalam
perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan
pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Perselisihan
antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan
antara serikat pekerja/serikat buruh
dengan
serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak
adanya persesuaian paham
mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
Berdasarkan definisi
– definisi yang telah tertuang diatas dapat dianalisis bahwa penyebab
perselisihan hubungan industrial itu sendiri terjadi karena adanya sebab dan
juga akibat dimana terdapat sebuah perbedaan pendapat yang akhirnya menimbulkan
suatu pertentangan. Dimana subjek dari perselisihan hubungan industrial ini
dapat terjadi antara :
1.
Pengusaha
dengan pekerja/buruh
2.
Pengusaha
dengan serikat pekerja/buruh
3.
Gabungan
pengusaha dengan pekerja/buruh
4.
Gabungan
pengusaha dengan serikat pekerja/buruh
5.
Serikat
pekerja/ buruh dalam satu perusahaan
Sedangkan yang menjadi objek dalam perselisihan
hubungan industrial atau perbedaan dari
pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara lain :
1.
perselisihan hak pasal 1 ayat 2 UU No 2 tahun 2004 Perselisihan hak adalah perselisihan
yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
2.
perselisihan kepentingan pasal 1 ayat 3 UU No 2 tahun
2004 Perselisihan
kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak
adanya kesesuaian pendapat mengenai
pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja pasal 1 ayat 4
UU No 2 Tahun 2004
Perselisihan
pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya
kesesuaian pendapat
mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
4.
Perselisihan antara serikat pekerja/buruh dalam satu
perusahaan pasal 1 ayat 5 UU No 2 Tahun 2004 Perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat
buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan,
pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.
Photo by Tim Gouw on Unsplash |
Dalam dunia perindustrian sering kita temui masalah-masalah yang terjadi.
mogok kerja, PHK yang bisa terjadi antara pihak pengelola industri dengan pekerja. Tidak menutup
kemungkinan masalah terjadi diantara sesama pihak pengelola, antara atasan maupun
bawahannya.
Hubungan kerja industri memiliki kompleksitas sumber dinamika seperti
isu upah, kesejahteraan pekerja, dan identitas para pekerja. Sumber-sumber
dinamika hubungan kerja tersebut mampu mendorong efektivitas proses industri
sekaligus menciptakan konflik kekerasan yang mereduksi kualitas kerja industri.
Itu bisa menyebabkan efek-efek tak produktif seperti berhentinya aktivitas
perusahaan, kerugian ekonomis, dan merenggangnya hubungan sosial antar-pekerja.
Konflik industrial muncul akibat adanya perbedaan kepentingan diantara para
pelaku industrial, yakni pengusaha/manajemen, buruh/serikat buruh, maupun
pemerintah. Senjata yang sering digunakan buruh atau serikat buruh agar
tuntutannya diterima adalah pemogokan.
Banyak pihak yang menganggap bahwa pemogokan merupakan suatu masalah,
sebagai sebuah penyakit yang harus cepat-cepat dicari obatnya. Dengan asumsi
bahwa pemogokan dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan, karena terhentinya
proses produksi akan mengakibatkan perusahaan tidak mendapatkan laba,
menanggung beban utang, dan atau kehilangan konsumen.
Dari sudut pandang lain, pemogokan merupakan indikasi adanya suatu masalah
yang sedang terjadi, seringkali menyangkut dengan upah buruh entah itu yang
belum dibayar atau tidak sesuai dengan Upah Minimum Regional. Sebagai akibatnya,
bukan hanya pemogokannya saja yang harus diatasi melainkan juga akar masalah
penyebab terjadinya pemogokan.
Sistem hubungan industrial dibuat untuk tujuan mendorong kerjasama antara
pekerja dan pengusaha, melalui suatu proses kelembagaan dalam bentuk negosiasi
atau tawar menawar antara pengusaha dan serikat pekerja/buruh untuk mencapai
kesepakatan bersama.
Dalam konteks Indonesia, UU yang mengatur tentang hal-hal diatas diantaranya
adalah UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial,
UU tersebut medefiniskan perselisihan industrial sebagai perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan antar pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan,
dan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja disuatu
perusahaan.
Dalam perjalanannya, penyelesaian konflik industrial seringkali melibatkan
pemerintah sebagai pihak ketiga yang diharapkan dapat memfasilitasi dan
membantu menyelesaikan perselisihan industrial. Pemerintah Indonesia mengatur
penyelesaian konflik industrial dengan mengeluarkan peraturan perundangan
seperti UU No. 12 tahun 1957 bahwa penyelesaian dilakukan secara bertahap
melalui perundingan antara pengusaha/gabungan pengusaha dengan pekerja/serikat
pekerja (bipatrit), mediasi, P-4D (Tripatrit), dan P-4P. Sedangkan UU
No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengusulkan tambahan
melalui konsiliasi, arbitrase, dan melalui pengadilan.
Dalam proses penyelesaian
terkait dengan perselisihan hubungan industrial sendiri terdapat dua cara
penyelesaian yaitu melalui cara litigasi dan juga non litigasi. Penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui jalur litigasi adalah suatu proses
penyelesaian sengketa hubungan industrial yang dilakukan melalui jalur
pengadilan. Sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
jalur non litigasi adalah suatu proses penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang dilakukan dengan cara di luar pengadilan atau juga dikenal
dengan penyelesaian sengketa alternatif.
Dalam tulisan
ini akan dibahas secara khusus mengenai penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui jalur non litigasi atau di luar pengadilan yang terdiri dari
Bipartit, Mediasi, Konsiliasi,dan
Arbitrase.
Bipartit
Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini
adalah perundingan antara pengusaha atau
gabungan
pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat
pekerja/serikat buruh
dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang
berselisih. Bipartit
adalah lembaga pertama yang wajib digunakan dalam penyelesaian perselisihan
hubungan industrial melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Undang-undang ini
memberi peluang pada lembaga bipartit untuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial berdasarkan asas musyawarah mufakat/ kekeluargaan antara pekerja/
buruh dengan majikan/ pengusaha, atau antara serikat pekerja dengan majikan.
Penyelesaian perselisihan melalui lembaga bipartit
ini memiliki jangka waktu 30 hari kerja sejak dimulainya perundingan, jika
waktu 30 hari tersebut terlampau maka perundingan dinyatakan batal demi hukum..
Hasil perundingan kedua belah pihak tersebut adalah dokumen perjanjian bersama,
yang wajib didaftarkan pada PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) pada
Pengadilan Negeri setempat.
Mediasi
Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut
mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.Selanjutnya Mediator Hubungan
Industrial yang disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk
bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak
yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Sesuai ketentuan Pasal 1 Angka 1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial, apabila tidak terjadi kesepakatan antara para pihak bersengketa,
sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan para pihak sebelum perkara sampai
ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) dapat digunakan Lembaga Mediasi.
Perkara yang ditangani lembaga mediasi adalah perselisihan hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), dan perselisihan
antar serikat pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Mediator
dalam rangka penyelesaian perkara melakukan mediasi atau menjadi juru damai
yang dapat menjadi penengah dalam penyelesaian sengngketa hubungan industrial
tersebut. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui
Mediator tersebut maka dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para
pihak dan Mediator tersebut. Selanjutnya perjanjian tersebut didaftarkan di
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Konsiliasi
Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya
disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan
hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. konsiliator
adalah seorang atau lebih yang memenuhi
syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas
melakukan konsiliasi dan
wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk
menyelesaikan perselisihan
kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam
satu perusahaan. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 memberi peluang pada para pihak untuk menyelesaikan
perselisihan hubungan industrial melalui lembaga Konsiliasi. Pejabat
Konsiliator dapat memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian
bersama apabila kesepakatan telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama yang
diprakarsasi oleh Konsiliator tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri
setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri setempat.
Arbitrase
Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya
disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan,
dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan, di luar Pengadilan
Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang
berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada
arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat
final. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 memberi peluang pada para pihak untuk penyelesaian
perselisihan hubungan industrial melalui lembaga arbitrase. Perkara yang
ditangani lembaga arbitrase adalah sengketa perihal perselisihan kepentingan
dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan di dalam suatu perusahaan.Penyelesaian
perselisihan melalui arbitrase pada umumnya telah diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan
industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah merupakan
pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial
Sesuai ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, penyelesaian perselisihan hubungan
industrial melalui arbitrase dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak,
putusan arbitrase bersifat pinal dan tetap, karena itu tidak dapat diajukan
gugatan ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial), terkecuali bila dalam hal-hal
tertentu dapat dilakukan pembatalan ke MA (Mahkamah Agung) RI. Arbiter untuk
penyelesaian sengketa hubungan industrial diangkat berdasarkan Keputusan
Menteri Ketenagakerjaan. Ia bertugas untuk memberikan putusan atas penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dimaksud. Terhadap putusan Arbiter yang
menimbulkan keraguan , pihak yang meragukan dapat memajukan tuntutan ingkar
terhadap putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan
alasan-alasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut. Untuk perkara seperti
ini Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004
dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan terhadap hal tersebut tidak
dapat diajukan perlawanan.
Apabila untuk penyelesaian perselisihan hubungan
industrial tersebut Arbitrase dapat mencapai kesepakatan, maka Arbiter harus
membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan
disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter. Penetapan Akte Perdamaian
tersebut didaftarkan di Pengadilan, dan dapat pula dieksekusi oleh Pengadilan
sebagaimana lazimnya mengeksekusi suatu putusan. Putusan Kesepakatan Arbitrase
tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu
rangkap, serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial. Terhadap putusan
tersebut yang telah berkekuatan hukum, tidak dapat dimajukan lagi. Karenanya
terhadap sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan
Hubungan Industrial.
Komentar
Posting Komentar