loading...

PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NON LITIGASI


Berikut merupakan penjelasan mengenai definisi – definisi yang terkait dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan Undang - Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial :
 
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Berdasarkan definisi – definisi yang telah tertuang diatas dapat dianalisis bahwa penyebab perselisihan hubungan industrial itu sendiri terjadi karena adanya sebab dan juga akibat dimana terdapat sebuah perbedaan pendapat yang akhirnya menimbulkan suatu pertentangan. Dimana subjek dari perselisihan hubungan industrial ini dapat terjadi antara :
1.      Pengusaha dengan pekerja/buruh
2.      Pengusaha dengan serikat pekerja/buruh
3.      Gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh
4.      Gabungan pengusaha dengan serikat pekerja/buruh
5.      Serikat pekerja/ buruh dalam satu perusahaan

Sedangkan yang menjadi objek dalam perselisihan hubungan industrial  atau perbedaan dari pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara lain :
1.      perselisihan hak pasal 1 ayat  2 UU No 2 tahun 2004 Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
2.      perselisihan kepentingan pasal 1 ayat 3 UU No 2 tahun 2004 Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
3.      Perselisihan pemutusan hubungan kerja pasal 1 ayat 4 UU No 2 Tahun 2004 Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
4.      Perselisihan antara serikat pekerja/buruh dalam satu perusahaan pasal 1 ayat 5 UU No 2 Tahun 2004 Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh adalah perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan serikat pekerja/serikat buruh lain hanya dalam satu perusahaan, karena tidak adanya persesuaian paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak, dan kewajiban keserikatpekerjaan.

Penyebab terjadinya perselisihan hubungan industrial. 
Photo by Tim Gouw on Unsplash
 Dalam dunia perindustrian sering kita temui masalah-masalah yang terjadi. mogok kerja, PHK yang bisa terjadi antara pihak pengelola industri dengan pekerja. Tidak menutup kemungkinan masalah terjadi diantara sesama pihak pengelola, antara atasan maupun bawahannya.
Hubungan kerja industri memiliki kompleksitas sumber dinamika seperti isu upah, kesejahteraan pekerja, dan identitas para pekerja. Sumber-sumber dinamika hubungan kerja tersebut mampu mendorong efektivitas proses industri sekaligus menciptakan konflik kekerasan yang mereduksi kualitas kerja industri. Itu bisa menyebabkan efek-efek tak produktif seperti berhentinya aktivitas perusahaan, kerugian ekonomis, dan merenggangnya hubungan sosial antar-pekerja.
Konflik industrial muncul akibat adanya perbedaan kepentingan diantara para pelaku industrial, yakni pengusaha/manajemen, buruh/serikat buruh, maupun pemerintah. Senjata yang sering digunakan buruh atau serikat buruh agar tuntutannya diterima adalah pemogokan.
Banyak pihak yang menganggap bahwa pemogokan merupakan suatu masalah, sebagai sebuah penyakit yang harus cepat-cepat dicari obatnya. Dengan asumsi bahwa pemogokan dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan, karena terhentinya proses produksi akan mengakibatkan perusahaan tidak mendapatkan laba, menanggung beban utang, dan atau kehilangan konsumen.
Dari sudut pandang lain, pemogokan merupakan indikasi adanya suatu masalah yang sedang terjadi, seringkali menyangkut dengan upah buruh entah itu yang belum dibayar atau tidak sesuai dengan Upah Minimum Regional. Sebagai akibatnya, bukan hanya pemogokannya saja yang harus diatasi melainkan juga akar masalah penyebab terjadinya pemogokan.
Sistem hubungan industrial dibuat untuk tujuan mendorong kerjasama antara pekerja dan pengusaha, melalui suatu proses kelembagaan dalam bentuk negosiasi atau tawar menawar antara pengusaha dan serikat pekerja/buruh untuk mencapai kesepakatan bersama.
Dalam konteks Indonesia, UU yang mengatur tentang hal-hal diatas diantaranya adalah UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU tersebut medefiniskan perselisihan industrial sebagai perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antar pengusaha atau gabungan pengusaha dengan buruh atau serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, dan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar serikat pekerja disuatu perusahaan.
Dalam perjalanannya, penyelesaian konflik industrial seringkali melibatkan pemerintah sebagai pihak ketiga yang diharapkan dapat memfasilitasi dan membantu menyelesaikan perselisihan industrial. Pemerintah Indonesia mengatur penyelesaian konflik industrial dengan mengeluarkan peraturan perundangan seperti UU No. 12 tahun 1957 bahwa penyelesaian dilakukan secara bertahap melalui perundingan antara pengusaha/gabungan pengusaha dengan pekerja/serikat pekerja (bipatrit), mediasi, P-4D (Tripatrit), dan P-4P.  Sedangkan  UU No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengusulkan tambahan melalui konsiliasi, arbitrase, dan melalui pengadilan.
  
Dalam proses penyelesaian terkait dengan perselisihan hubungan industrial sendiri terdapat dua cara penyelesaian yaitu melalui cara litigasi dan juga non litigasi. Penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur litigasi adalah suatu proses penyelesaian sengketa hubungan industrial yang dilakukan melalui jalur pengadilan. Sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur non litigasi adalah suatu proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang dilakukan dengan cara di luar pengadilan atau juga dikenal dengan penyelesaian sengketa alternatif.

Dalam tulisan ini akan dibahas secara khusus mengenai penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur non litigasi atau di luar pengadilan yang terdiri dari Bipartit, Mediasi, Konsiliasi,dan Arbitrase.

Bipartit
Yang dimaksud perundingan bipartit dalam pasal ini adalah perundingan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh atau antara serikat pekerja/serikat buruh dan serikat pekerja/serikat buruh yang lain dalam satu perusahaan yang berselisih. Bipartit adalah lembaga pertama yang wajib digunakan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. Undang-undang ini memberi peluang pada lembaga bipartit untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial berdasarkan asas musyawarah mufakat/ kekeluargaan antara pekerja/ buruh dengan majikan/ pengusaha, atau antara serikat pekerja dengan majikan.
Penyelesaian perselisihan melalui lembaga bipartit ini memiliki jangka waktu 30 hari kerja sejak dimulainya perundingan, jika waktu 30 hari tersebut terlampau maka perundingan dinyatakan batal demi hukum.. Hasil perundingan kedua belah pihak tersebut adalah dokumen perjanjian bersama, yang wajib didaftarkan pada PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) pada Pengadilan Negeri setempat.
 
Mediasi
Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.Selanjutnya Mediator Hubungan Industrial yang disebut mediator adalah pegawai instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang memenuhi syarat-syarat sebagai mediator yang ditetapkan oleh Menteri untuk bertugas melakukan mediasi dan mempunyai kewajiban memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Sesuai ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, apabila tidak terjadi kesepakatan antara para pihak bersengketa, sebagai salah satu upaya yang dapat dilakukan para pihak sebelum perkara sampai ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial) dapat digunakan Lembaga Mediasi. Perkara yang ditangani lembaga mediasi adalah perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), dan perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Mediator dalam rangka penyelesaian perkara melakukan mediasi atau menjadi juru damai yang dapat menjadi penengah dalam penyelesaian sengngketa hubungan industrial tersebut. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut maka dibuatkan perjanjian bersama yang ditandatangani para pihak dan Mediator tersebut. Selanjutnya perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.

Konsiliasi  
Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. konsiliator adalah seorang atau lebih yang memenuhi syarat-syarat sebagai konsiliator ditetapkan oleh Menteri, yang bertugas melakukan konsiliasi dan wajib memberikan anjuran tertulis kepada para pihak yang berselisih untuk menyelesaikan perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 memberi peluang pada para pihak untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial melalui lembaga Konsiliasi. Pejabat Konsiliator dapat memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan telah tercapai. Pendaftaran perjanjian bersama yang diprakarsasi oleh Konsiliator tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat.
  
Arbitrase

Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 memberi peluang pada para pihak untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui lembaga arbitrase. Perkara yang ditangani lembaga arbitrase adalah sengketa perihal perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan di dalam suatu perusahaan.Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 adalah merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial
Sesuai ketentuan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase, penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui arbitrase dilakukan atas dasar kesepakatan para pihak, putusan arbitrase bersifat pinal dan tetap, karena itu tidak dapat diajukan gugatan ke PHI (Pengadilan Hubungan Industrial), terkecuali bila dalam hal-hal tertentu dapat dilakukan pembatalan ke MA (Mahkamah Agung) RI. Arbiter untuk penyelesaian sengketa hubungan industrial diangkat berdasarkan Keputusan Menteri Ketenagakerjaan. Ia bertugas untuk memberikan putusan atas penyelesaian perselisihan hubungan industrial dimaksud. Terhadap putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan , pihak yang meragukan dapat memajukan tuntutan ingkar terhadap putusan tersebut kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut. Untuk perkara seperti ini Pengadilan Negeri berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan terhadap hal tersebut tidak dapat diajukan perlawanan.
Apabila untuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut Arbitrase dapat mencapai kesepakatan, maka Arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter. Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan di Pengadilan, dan dapat pula dieksekusi oleh Pengadilan sebagaimana lazimnya mengeksekusi suatu putusan. Putusan Kesepakatan Arbitrase tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial. Terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum, tidak dapat dimajukan lagi. Karenanya terhadap sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.

Komentar

Postingan Populer