loading...

KASUS KETERLIBATAN ANAK SEBAGAI TENTARA DALAM KONFLIK BERSENJATA DI MYANMAR


KASUS KETERLIBATAN ANAK SEBAGAI TENTARA DALAM KONFLIK BERSENJATA DI MYANMAR
Disusun Oleh
Nama : Syahrul Rahman Syah

By Google Images

ABSTRAK

Dalam penulisan paper ini berisi penjelasan terkait dengan kasus perekrutan tentara anak yang terjadi di Myanmar dan juga pandangan hukum humaniter itu sendiri terhadap kasus tentara anak secara khusus serta berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk menghentikan masalah perekrutan tentara anak dalam sebuah negara. Dalam pandangan hukum humaniter perekrutan tentara anak merupakan suatu perbuatan yang dengan jelas dilarang. Meskipun begitu terdapat dua pihak yang teridentifikasi melakukan perekrutan anak di Myanmar untuk dijadikan sebagai tentara yaitu Tatmadaw Kyi dan BGF ( Borders Guard Forces ). Anak – anak tersebut bergabung dan menjadi tentara di Myanmar dikarenakan beberapa faktor yang memaksa mereka bergabung dan ikut bertempur. Guna mengatasi masalah tentara anak ini munculah upaya – upaya konkret untuk mrngatasi hal tersebut, sehingga dengan upaya tersebut diharapkan dapat mengatasi masalh tentara anak yang terjadi saat ini.    
Kata Kunci : Tentara Anak, Myanmar, Hukum Humaniter

A.    Pendahuluan
Keterlibatan anak dalam sebuah konflik bersenjata merupakan sebuah permasalahan yang sudah lama terjadi dan hingga kini masalah tersebut masih tetap terjadi.Dalam pandangan hukum humaniter sendiri hal semacam ini merupakan perbuatan yang melanggar asas dan aturan dari hukum humaniter. Seperti yang terjadi di Myanmar dari tahun 1988 telah terjadi perekrutan anak yang dijadikan sebagai tentara. Akibat adanya pergolakan politik yang terjadi di pemerintahan tersebut dimana angkatan militer negara tersebut yang disebut dengan Tatmadaw berhasil menguasai pemerintahan di Myanmar.
Berdasarkan tujuan dari Tatmadaw sendiri dalam pemerintahan Myanmar guna menyatukan seluruh etnis di Myanmar dan munculnya kelompok – kelompok pemberontak yang memeperjuangkan hak – haknya. Tatmadaw berusaha memperkuat militernya dengan cara merekrut personel militer baru. Dalam prosesnya pihak Tatmadaw melibatkan anak – anak yang masih dibawah umur. Bahkan terindikasi dari pihak pemberontak pun juga melakukan hal yang sama, kelompok – kelompok pemberontak ini dikenal dengan nama BGF ( Borders Guard Forces ). Untuk mengatasi permasalahan yang sudah lama terjadi tersebut, diperlukan adanya upaya yang dapat mencegah dan menghentikan perekrutan anak sebagai tentara dalam sebuah konflik bersenjata yang terjadi.

B.     Pembahasan

B.I Pandangan Hukum Humaniter Internasional Terkait Tentara Anak ( Child Soldiers )

Tujuan dari Hukum Humaniter adalah untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang menderita atau menjadi korban dari suatu perang, baik mereka yang secara nyata dan aktif dalam pertikaian (kombat), maupun mereka yang tidak turut serta dalam pertikaian (penduduk sipil). [1]  Dalam hal ini termasuk kaitannya dengan perlindungan terhadap anak dalam suatu konflik bersenjata.

Pemanfaatan anak dalam suatu pertikaian atau konflik bersenjata sendiri dapat meliputi perekrutan anak sebagai sebagai tentara anak ( child soldiers ) dan juga partisipasi anak dalam permusuhan. Kata – kata partisipasi dijelaskan dalam statuta International Criminal Court ( ICC ) sebagai using ( menggunakan ) dan participate ( partisipasi ), mencakup kedua – dua partisipasi langsung dalam permusuhan dan juga partisipasi aktif dalam kegiatan militer yang berhubungan dengan kegiatan militer yang berhubungan dengan pertempuran, seperti menjadi penunjuk jalan / pemandu , mata – mata, melakukan sabotase dan penggunaan anak – anak sebagai umpan / pengalih perhatian , kurir atau di pos militer.[2]

Dalam prakteknya sendiri melibatkan anak – anak sebagai tentara dalam suatu konflik bersenjata merupakan suatu pelanggaran terhadap beberapa asas – asas dari hukum humaniter. Asas pertama yang dilanggar adalah asas kesatriaan ( chivalry ), suatu asas yang mengharuskan kepada para peserta perang untuk wajib menghindari perilaku – perilaku curang dalam berperang. Hal ini dikarenakan dalam aturan perang sendiri melarang untuk memanfaatkan bahkan melibatkan anak dalam sebuah konflik bersenjata, dengan melibatkan anak dalam sebuah konflik bersenjata dapat dianggap sebuah kecurangan dalam perang karena salah satu pihak telah melanggar aturan dalam berperang.

Selanjutnya asas hukum humaniter yang dilanggar berikutnya adalah asas kemanusiaan ( humanity ), dengan melibatkan anak – anak dalam sebuah konflik bersenjata dan menjadikan mereka sebagai tentara secara langsung telah merampas hak dari seorang anak. Dimana hak dari seorang anak adalah selain hak untuk hidup adalah mendapatkan sebuah perlindungan saat terjadi konflik. Selain itu dalam melibatkan anak sebagai tentara dalam berperang melawan musuhnya yang dewasa juga merupakan suatu hal yang tidak manusiawi, mengingat kapasitas dari seorang yang masih anak – anak sangatlah terbatas apalagi dalam sebuah peperangan. Keterlibatan dalam sebuah peperangan itu juga memiliki suatu dampak terhadap anak – anak selain dari dampak fisik juga psikis dari pertempuran yaitu sebuah trauma.

Pengaturan terkait perlindungan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata sendiri dalam lingkup Hukum Humaniter Internasional diatur dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan Tambahan II Tahun 1977. Dalam Konvensi Jenewa 1949 hanya mengatur terkait perlindungan terhadap anak dari sebuah pertempuran, Konvensi Jenewa III yang mengatur terkait perlakuan terhadap tawanan perang  mengatur perlindungan terhadap anak dalam dua pasal. Yang pertama dalam pasal 16 yang mengatur tentang siapa saja yang berhak mendapatkan status dan dapat diperlakukan sebagai tawanan perang dan yang kedua ada dalam pasal 49 yang menjelaskan bahwa negara penahan dapat menggunakan tenaga kerja tawanan perang yang sehat jasmaninya, dengan memperhatikan umur , jenis kelamin , pangkat dan pembawaan jasmani mereka, dan dengan maksud terutama memelihara mereka dalam keadaan jasmani dan rohani yang baik.[3]

Selanjutnya dalam Protokol Tambahan I Tahun 1977 memuat beberapa ketentuan tentang keterlibatan anak langsung dalam perang, dalam pasal 77 ayat ( 2 ) meletakkan kewajiban bagi negara peserta agar tidak mengikutsertakan anak –anak yang belum mencapai usia 15 tahun untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam permusuhan.[4] Lalu dalam Protokol Tambahan II Tahun 1977 yang berlaku dalam situasi konflik bersenjata non internasional juga mengatur keterlibatan anak dalam konflik bersenjata dalam pasal 4 ayat ( 3 ) huruf c yaitu adanya larangan mutlak yang yang mencakup partisipasi langsung maupun tidak langsung dalam suatu permusuhan. Lalu dalam pasal 6 ayat ( 4 ) mengatur tentang larangan penjatuhan hukuman mati yang dijatuhkan pada anak – anak yang belum berusia 18 tahun pada saat pelanggaran itu dilakukan, dan juga larangan itu berlaku bagi wanita yang sedang hamil atau para ibu yang mempunyai anak yang masih kecil.[5]

B.II Perekrutan Tentara Anak ( Child Soldiers )  di  Myanmar

Terdapat dua kelompok militer yang merekrut anak untuk dijadikan sebagai tentara yaitu militer negara Tatmadaw dan kelompok militer pemberontak yang melakukan gencatan senjata atau yang lebih dikenal dengan BGF ( Bordes Guard Forces ). Tatmadaw didirikan pada tahun 1948 dimana juga bertepatan dengan kemerdekaan Myanmar. Tatmadaw terdiri dari Tatmadaw Kyi ( Angkatan Darat ), Tatmadaw Yay ( Angkatan Laut ), dan Tatmadaw Lay ( Angkatan Udara ).[6] Pada tahun 1958 terjadilah upaya yang dilakukan oleh Tatmadaw Kyi untuk mengembalikan kondisi stabilitas politik pasca terjadinya kemerdekaan di Myanmar, dua tahun setelahnya tepatnya pada tahun 1960 dilakukanlah pemilu pertama kali di Myanmar. Dimana pada pemilu tersebut dimenangkan oleh pihak sipil , tetapi setelah memenangkan pemilu dan telah beberapa saat berkuasa , pemerintahan yang dipimpin oleh pihak sipil tersebut dianggap tidak mampu menjalankan dan mengorganisasi jalannya pemerintahan di Myanmar dari datangnya ancaman nasional pada negara tersebut. Hal ini berakibat munculnya kudeta yang dilakukan oleh pihak militer Myanmar yaitu Tatmadaw Kyi pada tahun 1962 dan 1988 sehingga pemerintahan pun jatuh ditangan pihak militer. Melalui kesepakatan kiprahnya di dalam pemerintahan, Tatmadaw memiliki tujuan yaitu untuk melakukan konsolidasi penyatuan Myanmar dan melindungi kedaulatan Myanmar. Tujuan ini juga sekaligus untuk melawan kelompok – kelompok etnis bersenjata yang sedang memperjuangkan status dan hak – haknya.

Hal ini juga menjelaskan bahwa Tatmadaw mempunyai kekhawatiran adanya suatu pergolakan atau pertentangan yang lebih besar dari kelompok militer pemberontak untuk menggulingkan kekuasaannya dalam pemerintahan. Tatmadaw Kyi melakukan berbagai upaya untuk menghadapi tantangan tersebut dan mulai merancang kembali upaya untuk memperbesar ddan memeperluas pengaruh serta kekuatan militernya. Jumlah personel militer Tatmadaw Kyi itu sendiri tidak pernah diketahui secara pasti.[7]

Dalam menjalankan perannya dalam pemerintahan Tatmadaw Kyi melakukan perluasan dan penambahan kekuatan secara internal yaitu dengan cara melakukan perekrutan anggota militernya guna menambah jumlah personel. Pada tahun 1988 dimulailah perekrutan tentara anak oleh Tatmadaw Kyi . Dimana Tatmadaw Kyi melegalkan perekrutan anak untuk menjadi bagian dalam anggota militernya, hal ini dilakukan dengan berdasarkan kepada misi Tatmadaw Kyi untuk menguasai pemerintahan secara menyeluruh. Tatmadaw Kyi mulai melakukan perekrutan untuk menambah jumlah personelnya dan menjadikan anak – anak dibawah umur sebagai sasaran dari perekrutannya.

Seiring berjalannya pemerintahan di Myanmar banayak terjadi konflik yang melibatkan kelompok – kelompok militer pemberontak . kelompok ini terbentuk dan memepunyai tujuan untuk mendapatkan otonomi berserta hak – haknya dari rezim pemerintah sedang yang berkuasa. Pada tahun 2009, terdapat beberapa kelompok militer pemberontak yang melakukan gencatan senjata yang dikenal dengan BGF ( Borders Guard Forces ), dimana telah melakukan suatu perjanjian gencatan senjata dengan rezim dan berada di bawah komando SPDC ( State Peace and Development Council ).[8]

Dalam proses perekrutan anak sebagai tentara, Tatmadaw Kyi melakukan hal tersebut dengan cara intimidasi, pemaksaan, dan juga iming – iming gaji besar. Sehingga banyak anak – anak tersebut berkeinginan masuk menjadi anggota militer. Cara lain yang dilakukan adalah dengan memalsukan umur anak – anak dibawah usia 18 tahun, perekrut memalsukan umur pada dokumen registrasi ditempat perekrutan bahkan juga sampai mengubah biografi dari seorang anak dengan mengganti nama orang tuanya sehingga banyak para orang tua kesulitan mencari anaknya. Berdasarkan kajian Child Soldiers International, pemalsuan umur terjadi di setiap tahap perekrutan.[9]

Selanjutnya adalah adanya bukti perekrutan anak sebagai tentara yang dilakukan oleh  BGF (Borders Guard Forces). Prosedur perekrutan tentara anak yang dilakukan oleh BGF ( Borders Guard Forces ) lebih sedikit merekrut tentara anak dibandingkan dengan pihak Tatmadaw Kyi, namun meski begitu banyak faktor yang menyebabkan anak – anak bergabung menjadi tentara pihak BGF ( Borders Guard Forces ) yang pertama adalah anak – anak disini tidak mempunyai pilihan lain untuk bergabung menjadi tentara, karena keterpaksaan mereka dan pihak keluarga , lalu adalah adanya ambisi pribadi berupa balas dendam yang dilakukan oleh anak – anak tersebut akibat dari pihak militer Tatmadaw Kyi yang telah merenggut keluarga dan wilayah mereka.
Pada tahun 2010 progam perekrutan paksa skala besar dilakukan, hal ini dipicu karena menipisnya jumlah tentara akibat dari pembelotan dan perintah dari Tatmadaw Kyi untuk membuang tentara berdasarkan umur lebih dari 50 tahun. Kehadiran calon anggota militet dibawah umur 18 tahun dipastikan dalam proses perekrutan.[10] Mayoritas anak –anak yang direkrut berasal dari kalangan miskin, dari wilayah pedesaan dan minim mendapatkan pelayanan serta akses pendidikan.

Bahkan sampai saat ini pun masih terjadi praktek perekrutan anak untuk dijadikan sebagai pasukan militer oleh Myanmar meskipun telah ada sebuah upaya reformasi yang dilakukan oleh militer Myanmar untuk membebaskan para tentara anak yang masih bergabung dalam kesatuan militernya.seperti yang dikutip dalam artikel berita berikut.
 YANGON – Myanmar melepaskan 109 anak-anak dari lingkungan militer, Kamis (25/9), kebijakan terbesar yang ditempuh negara ini dalam mereformasi militernya. Meski demikian, PBB menyatakan, masih ada perekrutan ilegal tentara anak-anak dari keluarga miskin. Bertahun-tahun, Myanmar masuk dalam daftar negara yang merekrut anak-anak menjadi tentara. Tentara anak bukan hanya ada di tentara pemerintah, tetapi juga pemberontak. Militer selama 49 tahun mengendalikan Myanmar. Komunitas internasional sering melontarkan kecaman pada Myanmar karena pelanggaran HAM. Termasuk di dalamnya menggunakan anak-anak sebagai tentara. Kini, secara berangsur melakukan perubahan, termasuk mereformasi tentara. Kepala United Nations Children Fund di Myanmar Bertrand Bainvel menjelaskan, militer ingin meningkatkan profesionalisme tentara.’’Keberadaan tentara anak menghambat kerja sama militer dengan negara lain,’’ katanya. Pemerintahan semi militer sejak 2011 berupaya menjalankan program-program reformasinya. Mereka, ujar Bainvel, bekerja sama dengan PBB untuk mengeluarkan anak-anak dari lingkungan militer. Sejak Juni 2012, termasuk Kamis (25/9), sudah ada 472 anak yang dibebastugaskan. Menurut Bainvel, Tatmadaw, nama tradisional militer Myanmar, mempunyai komitmen menghapus tentara anak. Meski demikian, ia mengakui, perekrutan anak-anak untuk dijadikan tentara masih berjalan. Jumlahnya sudah menurun dibandingkan sebelumnya. 
Sebagian besar anak-anak yang sekarang masih direkrut berasal dari keluarga-keluarga miskin. Mereka bersedia menyerahkan anak-anaknya untuk memperoleh tambahan penghasilan. Yangon dan Mandalay merupakan dua lokasi perekrutan terbesar. 
Banyak warga sipil yang menjadi perantara perekrutan berkeliaran di Yangon dan Mandalay. Keadaan ini membuat pendataan jumlah perekrutan tentara anak sulit. "Sulit memperoleh angka pastinya," kata Bainvel. 
Selain itu, PBB menunjukkan pasukan gerilya dari tujuh etnik minoritas yang masih berperang dengan pemerintah juga melibatkan anak-anak. Mereka biasanya berusia di bawah 18 tahun
. [11]

Dari artikel berita tersebut membuktikan bahwa masih terdapat tentara anak ( child soldiers ) dalam kesatuan militer Myanmar, meskipun dalam jumlah yang sudah berkurang walaupun belum ada data pasti terkait jumlah tersebut dikarenakan adanya suatu keadaan yang menyulitkan untuk melakukan sebuah pendataan dan pengurangan ini timbul akibat sudah adanya upaya dari pihak militer Myanmar untuk melakukan reformasi terhadap militernya akibat dari berbagai kecaman yang diterimanya oleh berbagai pihak.

B.III Upaya Untuk Mencegah Keterlibatan Anak Sebagai Tentara Dalam Perang

     Perekrutan anak untuk menjadi seorang tentara dalam sebuah konflik bersenjata jelas merupakan sebuah perbuatan yang tidak dibenarkan oleh berbagai aturan yang terkait mengatur hal tersebut. Untuk itu diperlukan adanya suatu upaya untuk mencegah hal tersebut terjadi kembali. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perekrutan tentara anak masih terus terjadi sampai saat ini yaitu :
1.      Sifat anak-anak
Anak-anak rentan terhadap ancaman patuh, kecil kemungkinan untuk melarikan diri dari orang dewasa. Jika mereka dipaksa memakai narkoba, lebih mudah mengikuti perintah. semakin murni hati mereka, semakin mudah untuk merubah mereka menjadi prajurit brutal jika dicuci otaknya.
2.     Senjata yang ringan
Zaman dulu,senjata-senjata terlalu berat bagi anak-anak. Tetapi senjata yang dibuat oleh Amerika Serikat ataupun Uni Soviet setelah perang dunia kedua jadi populer di dunia. Khususnya, AK-47(diciptakan 1947 oleh Uni Soviet) sangat mudah dibongkar dan disusun meskipun oleh anak berusia 10 tahun, terjual lebih dari 55 juta AK-47, satu buah sekitar Rp200rib-Rp500rib saja.
3.      Kekurangan tentara dewasa
Karena berkepanjangan konflik tentara dewasa jadi kurang. Anak-anak digunakan untuk
memasak atau membawa barang-barang selain berperang.
4.      Keuntungan anak
Karena badan anak-anak kecil, tidak mudah dilihat jadi dapat bergerak dengan baik, khususnya ketika gerilya. Juga digunakan sebagai mata-mata dan pengantar pesan.
5.      Musuh-musuh dapat lengah dengan mudah.
6.      Mudah disediakan
Kebanyakan dengan cara menculik anak.
7.      Rela menjadi tentara
Kadang-kadang, anak-anak menjadi tentara hanya untuk bertahan hidup. Memang, menjadi tentara bisa dapat sesuatu sebagai tempat berlindung, melayani sebagai semacam keluarga pengganti. Anak-anak dapat bergabung jika mereka percaya bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menjamin makanan harian, pakaian atau perhatian medis.
Juga anak-anak yang dibunuh
keluarganya bisa jadi tentara untuk balas dendam.[12]

Langkah konkret yang dapat dilakukan adalah dengan meratifikasi peraturan – peraturan internasional yang mengatur terkait perlindungan terhadap anak misalnya seperti konvensi jenewa 1949 serta protokol tambahan I dan II, konvensi hak – hak anak 1989 serta optional protocol-nya Tahun 2000.Dalam Optional protocol Tahun 2000 tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata terdapat beberapa poin penting Seperti yang dijelaskan berikut : 

1.      Pasal 1 dalam konvensi tersebut bahwa negara-negara pihak harus mengambil semua tindakan yang mungkin untuk memastikan bahwa orang yang belum mencapai umur 18 tahun tidak dapat mengambil bagian secara langsung dalam pertempuran.
2.      Pasal 2 mengatur tentang rekrutmen anak dalam angkatan bersenjata. Pasal ini menetapkan bahwa negara peserta harus memastikan tidak merekrut orang dibawah umur 18 tahun secara wajib ke dalam angkatan bersenjata mereka.
3.      Pasal 5 protokol ini menyebutkan bahwa tidak ada ketentuan satupun dalam protokol ini yang dianggap menghambat ketentuan – ketentuan hukum dari suatu pihak atau dalam instrument internasional dan dalam hukum humaniter yang lebih baik dalam mewujudkan hak anak. Dengan kata lain apabila meratifikasi protokol ini tidak merugikan bagi negara yang meratifikasi tersebut sebab protokol ini bersifat optional.
4.      Pasal 6 mengatur tentang kewajiban negara peserta untuk mengambil semua tindakan untuk menghentikan perekrutan dan penggunaan anak – anak yang belum berusia 18 tahun dalam pertempuran. Pasal ini mengatur pula mengenai kewajiban untuk memberikan semua bantuan yang tepat untuk pengembalian fisik dan psikologis serta pengintegrasian kembali kehidupan sosial anak – anak yang telah direkrut dan digunakan dalam pertempuran.
5.      Dalam pasal 7 diisyaratkan seluruh negara pihak peserta agar dapat bekerja sama dalam menuntaskan masalah anak yang terlibat dalam konflik bersenjata. Hal tersebut dapat digunakan suatu negara sebagai bukti bahwa negara tersebut serius dalam menuntaskan masalah perekrutan tentara anak serta agar mayarakat internasional dapat mengawasi jalannya proses tersebut.

Diharapkan dengan meratifikasi konvensi atau instrumen – instrumen hukum internasional tersebut dapat menyadarkan para negara peserta bahwa sesuai yang diatur dalam instrumen – instrumen tersebut yang intinya dengan jelas melarang keterlibatan anak dalam sebuah pertikaian bersenjata. Sehingga masalah tentara anak ini dapat berakhir dan tidak terulang kembali di masa yang akan datang.

     Upaya selanjutnya adalah dengan membeikan sanksi yang nyata terhadap oknum atau pelaku yang memanfaatkan anak sebagai tentara dalam sebuah konflik bersenjata. Seperti pada tanggal 14 Maret 2012 yang lalu. International Criminal Court ( ICC ) di Den Haag Belanda telah memutuskan bahwa komandan pasukan pemberontak Kongo yaitu Thomas Lubanga dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukuman penjara selama 14 tahun karena terbukti dalam tindakannya yang merekrut dan menggunakan anak – anak dibawah usia 15 tahun untuk bergabung dengan pasukannya melawan pemerintah Kongo selama perang saudara di Kongo. Peristiwa ini juga merupakan peristiwa yang penting terkait dengan kepastian hukum yang diberikan sekaligus menjadi momentum untuk mewujudkan suatu keadilan bagi tentara anak.

     Selain dengan memberikan sanksi yang nyata bagi pelanggar, solusi lain yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk sebuah badan atau komite khusus yang bergerak menangani kasus yang melibatkan tentara anak dalam sebuah konflik disuatu negara. Badan atau komite ini dibentuk secara khusus pada wilayah – wilayah yang sedang berkonflik dan terindikasi melibatkan anak - anak sebagai tentara dalam konflik tersebut.
Dimana fungsi dan tugas dari komite khusus tersebut adalah untuk mengawasi, mencegah , dan menghentikan  perekrutan anak untuk dijadikan sebagai tentara, dengan dibentuknya komite khusus ini diharapkan dapat membantu terwujudnya penyelesaian masalah penggunaan tentara anak ini, sekaligus menjadi bukti bahwa negara tersebut serius dalam mengatasi permasalahan yang melibatkan anak sebagai tentara dalam sebuah pertikaian bersenjata yang terjadi di wilayah pemerintahannya.

     Dan terakhir upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan memaksimalkan peran dari organisasi – organisasi internasional yang berperan mengurusi permasalahan terkait dengan keterlibatan anak sebagai tentara dalam sebuah konflik bersenjata di suatu negara. Beberapa dari organisasi internasional yang terkait dalam mengurusi masalah tentara anak ini diantara lain adalah UNICEF dan ICRC ( The International Committee of The Red Cross ). Contohnya adalah seperti upaya penyelesaian masalah perekrutan tentara anak yang dilakukan melalui UNICEF terhadap kasus di Myanmar, dimana pada tahun 2012 yang lalu UNICEF mengeluarkan rumusan kebijakan guna penyelesaian kasus perekrutan tentara anak di Myanmar, dimana rumusan tersebut dikenal dengan nama Joint Action Plan dan disetujui sekaligus ditanda tangani oleh pihak Myanmar. Hal ini menjadi momentum yang bagus melihat adanya suatu itikad baik dari Myanmar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, dimana dalam Joint Action Plan ini kedua belah pihak yakni Myanmar dan UNICEF setuju untuk menghentikan, dan mengembalikan anak – anak yang telah bergabung menjadi pasukan tentara kepada keluarga mereka juga hak – hak yang seharusnya mereka peroleh sebagai anak – anak misalnya seperti mendapatkan pendidikan dan juga lainnya.

     Lalu peran dari ICRC pun tak kalah penting dalam menyelesaikan masalah perekrutan tentara anak ini. ICRC berhak melakukan intervensi khusus seperti mengharuskan pemerintah negara berkonflik untuk meratifikasi perjanjian internasional dan juga mengimplementasikannya dalam hukum nasional yang berlaku. Lalu memberikan semacam pendidikan terhadap para pihak yang sedang berkonflik dengan menjelaskan terkait hal seperti prinsip , aturan , dan juga penerapan hukum humaniter internasional. Melalui hal inilah diharapkan menumbuhkan kesadaran terhadap negara yang sedang berkonflik akan pentingnya penerapan hukum humaniter internasional guna melindungi para pihak – pihak yang telah ditetapkan dalam peraturan dan juga untuk meminimalisir dampak perang. Sehingga masalah terkait dengan perekrutan anak sebagai tentara dalam sebuah pertikaian bersenjata dapat diselesaikan.  

C.    Kesimpulan

Dalam hukum humaniter kasus perekrutan anak untuk dijadikan sebagai tentara dalam sebuah pertikaian bersenjata, merupakan sebuah perbuatan yang jelas telah dilarang dalam hukum humaniter. Karena melanggar beberapa asas dan juga aturan – aturan dalam hukum humaniter yang bersumber dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan Tambahan II Tahun 1977. Dalam kasus yang terjadi di Myanmar sendiri dimana perekrutan tentara anak tersebut melibatkan pihak militer Myanmar Tatmadaw Kyi dan juga pihak pemberontak BGF ( Borders Guard Forces ) yang dipicu oleh konflik politik yang terjadi di wilayah tersebut. Anak – anak tersebut bergabung karena beberapa faktor yakni keterpaksaan , karena kemiskinan ( diiming – imingi gaji besar ) , dan juga latar belakang ingin balas dendam terhadap pihak yang telah merenggut keluarga dan wilayah mereka. Untuk mengatasi masalah perekrutan anak yang terjadi di dunia saat ini diperlukan  upaya konkret seperti kewajiban tiap negara meratifikasi instrument hukum internasional/perjanjian internasional yang terkait dengan perlindungan anak , menindak tegas pelaku yang terlibat dengan kasus perekrutan tentara anak dengan hukuman yang setimpal , lalu dengan membentuk komite khusus yang bertugas melindungi , mencegah dan menghentikan perekrutan tentara anak di suatu negara untuk mempercepat proses penyelesaian masalah ini dan terakhir dengan memaksimalkan peran dari organisasi internasional misalnya sperti UNICEF dan ICRC untuk ikut membantu menyelesaikan masalah tentara anak di suatu negara. Diharap kan melalui berbagai upaya tersebut dapat mengakhiri masalah tentara anak. Sehingga di masa depan tidak ada lagi peristiwa yang memilukan bagi anak – anak sebagai para calon penerus bangsa. 


Daftar Pustaka

Prof. KGPH. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm 3

Narwati, Enny, and Lina Hastuti.”Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Konflik Bersenjata.” Jurnal     Penelitian Dinas Sosial 7.1 (2008).

Hukum, Direktorat Jendral, dan Perundang undangan Departemen Kehakiman “Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949.”(1999).

Departemen, Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum. "Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rebublik Indonesia. 2003." Protokol Tambahan pada Konvensi–Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 dan yang Berhubungan dengan Perlindungan Korban–Korban Pertikaian–Pertikaian Bersenjata Internasional (Protokol I) dan Bukan Internasional (Protokol II).

Child Soldiers International.Chance for Change: Ending The Recruitment and Use of Child Soldiers Myanmar. January 2013. 9 Marshallsea Road: London. Hlm 13

Child Soldiers International.Chance for Change: Ending The Recruitment and Use of Child Soldiers Myanmar. January 2013. 9 Marshallsea Road: London. Hlm 18

Child Soldiers International.2013.Chance for Change: Ending the Recruitment and Use of Child Soldiers in Myanmar. H 26 Diakses pada 27 Mei 2017. (http://www.child-soldiers.org/research_report_reader.php?id=624


https://prezi.com/bny_gtpftp39/child-soldiers-anak-tentara/ by  Tayuko Matsumura ( Diakses pada tanggal 28 Mei 2017 )




[1] Prof. KGPH. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm 3
[2] Narwati, Enny, and Lina Hastuti.”Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Konflik Bersenjata.” Jurnal Penelitian Dinas Sosial 7.1 (2008).
[3] Hukum, Direktorat Jendral, dan Perundang undangan Departemen Kehakiman “Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949.”(1999).
[4] Departemen, Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum. "Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rebublik Indonesia. 2003." Protokol Tambahan pada Konvensi–Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 dan yang Berhubungan dengan Perlindungan Korban–Korban Pertikaian–Pertikaian Bersenjata Internasional (Protokol I) dan Bukan Internasional (Protokol II).
[5] Ibid.
[6] Child Soldiers International.Chance for Change: Ending The Recruitment and Use of Child Soldiers Myanmar. January 2013. 9 Marshallsea Road: London. Hlm 13
[7] Ibid. Hlm 14
[8] Ibid. Hlm 23
[9] Child Soldiers International.Chance for Change: Ending The Recruitment and Use of Child Soldiers Myanmar. January 2013. 9 Marshallsea Road: London. Hlm 18
[10] Child Soldiers International.2013.Chance for Change: Ending the Recruitment and Use of Child Soldiers in Myanmar. H 26 Diakses pada 27 Mei 2017. (http://www.child-soldiers.org/research_report_reader.php?id=624 )
[12] https://prezi.com/bny_gtpftp39/child-soldiers-anak-tentara/ by  Tayuko Matsumura ( Diakses pada tanggal 28 Mei 2017 )

Komentar

Postingan Populer