KASUS KETERLIBATAN ANAK SEBAGAI TENTARA DALAM KONFLIK BERSENJATA DI MYANMAR
KASUS
KETERLIBATAN ANAK SEBAGAI TENTARA DALAM KONFLIK BERSENJATA DI MYANMAR
Disusun Oleh
Nama : Syahrul Rahman Syah
By Google Images |
ABSTRAK
Dalam penulisan paper ini
berisi penjelasan terkait dengan kasus perekrutan tentara anak yang terjadi di
Myanmar dan juga pandangan hukum humaniter itu sendiri terhadap kasus tentara
anak secara khusus serta berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk menghentikan
masalah perekrutan tentara anak dalam sebuah negara. Dalam pandangan hukum
humaniter perekrutan tentara anak merupakan suatu perbuatan yang dengan jelas
dilarang. Meskipun begitu terdapat dua pihak yang teridentifikasi melakukan
perekrutan anak di Myanmar untuk dijadikan sebagai tentara yaitu Tatmadaw Kyi
dan BGF ( Borders Guard Forces ).
Anak – anak tersebut bergabung dan menjadi tentara di Myanmar dikarenakan
beberapa faktor yang memaksa mereka bergabung dan ikut bertempur. Guna
mengatasi masalah tentara anak ini munculah upaya – upaya konkret untuk
mrngatasi hal tersebut, sehingga dengan upaya tersebut diharapkan dapat
mengatasi masalh tentara anak yang terjadi saat ini.
Kata Kunci : Tentara
Anak, Myanmar, Hukum Humaniter
A. Pendahuluan
Keterlibatan
anak dalam sebuah konflik bersenjata merupakan sebuah permasalahan yang sudah
lama terjadi dan hingga kini masalah tersebut masih tetap terjadi.Dalam
pandangan hukum humaniter sendiri hal semacam ini merupakan perbuatan yang
melanggar asas dan aturan dari hukum humaniter. Seperti yang terjadi di Myanmar
dari tahun 1988 telah terjadi perekrutan anak yang dijadikan sebagai tentara.
Akibat adanya pergolakan politik yang terjadi di pemerintahan tersebut dimana
angkatan militer negara tersebut yang disebut dengan Tatmadaw berhasil
menguasai pemerintahan di Myanmar.
Berdasarkan
tujuan dari Tatmadaw sendiri dalam pemerintahan Myanmar guna menyatukan seluruh
etnis di Myanmar dan munculnya kelompok – kelompok pemberontak yang
memeperjuangkan hak – haknya. Tatmadaw berusaha memperkuat militernya dengan
cara merekrut personel militer baru. Dalam prosesnya pihak Tatmadaw melibatkan
anak – anak yang masih dibawah umur. Bahkan terindikasi dari pihak pemberontak
pun juga melakukan hal yang sama, kelompok – kelompok pemberontak ini dikenal
dengan nama BGF ( Borders Guard Forces
). Untuk mengatasi permasalahan yang sudah lama terjadi tersebut, diperlukan
adanya upaya yang dapat mencegah dan menghentikan perekrutan anak sebagai
tentara dalam sebuah konflik bersenjata yang terjadi.
B. Pembahasan
B.I
Pandangan Hukum Humaniter Internasional
Terkait Tentara Anak ( Child Soldiers
)
Tujuan
dari Hukum Humaniter adalah untuk memberikan perlindungan kepada mereka yang
menderita atau menjadi korban dari suatu perang, baik mereka yang secara nyata
dan aktif dalam pertikaian (kombat), maupun mereka yang tidak turut serta dalam
pertikaian (penduduk sipil). [1] Dalam hal ini termasuk kaitannya dengan perlindungan
terhadap anak dalam suatu konflik bersenjata.
Pemanfaatan anak dalam suatu pertikaian atau konflik
bersenjata sendiri dapat meliputi perekrutan anak sebagai sebagai tentara anak
( child soldiers ) dan juga
partisipasi anak dalam permusuhan. Kata – kata partisipasi dijelaskan dalam
statuta International Criminal Court (
ICC ) sebagai using ( menggunakan
) dan participate ( partisipasi ),
mencakup kedua – dua partisipasi langsung dalam permusuhan dan juga partisipasi
aktif dalam kegiatan militer yang berhubungan dengan kegiatan militer yang
berhubungan dengan pertempuran, seperti menjadi penunjuk jalan / pemandu , mata
– mata, melakukan sabotase dan penggunaan anak – anak sebagai umpan / pengalih
perhatian , kurir atau di pos militer.[2]
Dalam prakteknya sendiri melibatkan anak – anak
sebagai tentara dalam suatu konflik bersenjata merupakan suatu pelanggaran
terhadap beberapa asas – asas dari hukum humaniter. Asas pertama yang dilanggar
adalah asas kesatriaan ( chivalry ),
suatu asas yang mengharuskan kepada para peserta perang untuk wajib menghindari
perilaku – perilaku curang dalam berperang. Hal ini dikarenakan dalam aturan
perang sendiri melarang untuk memanfaatkan bahkan melibatkan anak dalam sebuah
konflik bersenjata, dengan melibatkan anak dalam sebuah konflik bersenjata
dapat dianggap sebuah kecurangan dalam perang karena salah satu pihak telah
melanggar aturan dalam berperang.
Selanjutnya asas hukum humaniter yang dilanggar
berikutnya adalah asas kemanusiaan ( humanity
), dengan melibatkan anak – anak dalam sebuah konflik bersenjata dan menjadikan
mereka sebagai tentara secara langsung telah merampas hak dari seorang anak.
Dimana hak dari seorang anak adalah selain hak untuk hidup adalah mendapatkan
sebuah perlindungan saat terjadi konflik. Selain itu dalam melibatkan anak
sebagai tentara dalam berperang melawan musuhnya yang dewasa juga merupakan
suatu hal yang tidak manusiawi, mengingat kapasitas dari seorang yang masih
anak – anak sangatlah terbatas apalagi dalam sebuah peperangan. Keterlibatan
dalam sebuah peperangan itu juga memiliki suatu dampak terhadap anak – anak
selain dari dampak fisik juga psikis dari pertempuran yaitu sebuah trauma.
Pengaturan terkait perlindungan keterlibatan anak
dalam konflik bersenjata sendiri dalam lingkup Hukum Humaniter Internasional diatur
dalam Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan I dan Tambahan II Tahun
1977. Dalam Konvensi Jenewa 1949
hanya mengatur terkait perlindungan terhadap anak dari sebuah pertempuran, Konvensi Jenewa III yang mengatur
terkait perlakuan terhadap tawanan perang
mengatur perlindungan terhadap anak dalam dua pasal. Yang pertama dalam pasal 16 yang mengatur tentang siapa
saja yang berhak mendapatkan status dan dapat diperlakukan sebagai tawanan
perang dan yang kedua ada dalam pasal 49
yang menjelaskan bahwa negara penahan dapat menggunakan tenaga kerja tawanan
perang yang sehat jasmaninya, dengan memperhatikan umur , jenis kelamin ,
pangkat dan pembawaan jasmani mereka, dan dengan maksud terutama memelihara
mereka dalam keadaan jasmani dan rohani yang baik.[3]
Selanjutnya dalam Protokol
Tambahan I Tahun 1977 memuat beberapa ketentuan tentang keterlibatan anak
langsung dalam perang, dalam pasal 77
ayat ( 2 ) meletakkan kewajiban bagi negara peserta agar tidak
mengikutsertakan anak –anak yang belum mencapai usia 15 tahun untuk ikut ambil
bagian secara langsung dalam permusuhan.[4]
Lalu dalam Protokol Tambahan II Tahun
1977 yang berlaku dalam situasi konflik bersenjata non internasional juga
mengatur keterlibatan anak dalam konflik bersenjata dalam pasal 4 ayat ( 3 ) huruf c yaitu adanya larangan mutlak yang yang
mencakup partisipasi langsung maupun tidak langsung dalam suatu permusuhan.
Lalu dalam pasal 6 ayat ( 4 )
mengatur tentang larangan penjatuhan hukuman mati yang dijatuhkan pada anak –
anak yang belum berusia 18 tahun pada saat pelanggaran itu dilakukan, dan juga
larangan itu berlaku bagi wanita yang sedang hamil atau para ibu yang mempunyai
anak yang masih kecil.[5]
B.II
Perekrutan Tentara Anak ( Child Soldiers ) di Myanmar
Terdapat
dua kelompok militer yang merekrut anak untuk dijadikan sebagai tentara yaitu
militer negara Tatmadaw dan kelompok militer pemberontak yang melakukan
gencatan senjata atau yang lebih dikenal dengan BGF ( Bordes Guard Forces ). Tatmadaw didirikan pada tahun 1948 dimana
juga bertepatan dengan kemerdekaan Myanmar. Tatmadaw terdiri dari Tatmadaw Kyi
( Angkatan Darat ), Tatmadaw Yay ( Angkatan Laut ), dan Tatmadaw Lay ( Angkatan
Udara ).[6] Pada
tahun 1958 terjadilah upaya yang dilakukan oleh Tatmadaw Kyi untuk
mengembalikan kondisi stabilitas politik pasca terjadinya kemerdekaan di
Myanmar, dua tahun setelahnya tepatnya pada tahun 1960 dilakukanlah pemilu
pertama kali di Myanmar. Dimana pada pemilu tersebut dimenangkan oleh pihak
sipil , tetapi setelah memenangkan pemilu dan telah beberapa saat berkuasa ,
pemerintahan yang dipimpin oleh pihak sipil tersebut dianggap tidak mampu
menjalankan dan mengorganisasi jalannya pemerintahan di Myanmar dari datangnya
ancaman nasional pada negara tersebut. Hal ini berakibat munculnya kudeta yang
dilakukan oleh pihak militer Myanmar yaitu Tatmadaw Kyi pada tahun 1962 dan
1988 sehingga pemerintahan pun jatuh ditangan pihak militer. Melalui
kesepakatan kiprahnya di dalam pemerintahan, Tatmadaw memiliki tujuan yaitu
untuk melakukan konsolidasi penyatuan Myanmar dan melindungi kedaulatan
Myanmar. Tujuan ini juga sekaligus untuk melawan kelompok – kelompok etnis
bersenjata yang sedang memperjuangkan status dan hak – haknya.
Hal ini
juga menjelaskan bahwa Tatmadaw mempunyai kekhawatiran adanya suatu pergolakan
atau pertentangan yang lebih besar dari kelompok militer pemberontak untuk
menggulingkan kekuasaannya dalam pemerintahan. Tatmadaw Kyi melakukan berbagai
upaya untuk menghadapi tantangan tersebut dan mulai merancang kembali upaya
untuk memperbesar ddan memeperluas pengaruh serta kekuatan militernya. Jumlah
personel militer Tatmadaw Kyi itu sendiri tidak pernah diketahui secara pasti.[7]
Dalam
menjalankan perannya dalam pemerintahan Tatmadaw Kyi melakukan perluasan dan
penambahan kekuatan secara internal yaitu dengan cara melakukan perekrutan
anggota militernya guna menambah jumlah personel. Pada tahun 1988 dimulailah
perekrutan tentara anak oleh Tatmadaw Kyi . Dimana Tatmadaw Kyi melegalkan
perekrutan anak untuk menjadi bagian dalam anggota militernya, hal ini
dilakukan dengan berdasarkan kepada misi Tatmadaw Kyi untuk menguasai
pemerintahan secara menyeluruh. Tatmadaw Kyi mulai melakukan perekrutan untuk
menambah jumlah personelnya dan menjadikan anak – anak dibawah umur sebagai
sasaran dari perekrutannya.
Seiring
berjalannya pemerintahan di Myanmar banayak terjadi konflik yang melibatkan
kelompok – kelompok militer pemberontak . kelompok ini terbentuk dan memepunyai
tujuan untuk mendapatkan otonomi berserta hak – haknya dari rezim pemerintah
sedang yang berkuasa. Pada tahun 2009, terdapat beberapa kelompok militer
pemberontak yang melakukan gencatan senjata yang dikenal dengan BGF ( Borders Guard Forces ), dimana telah
melakukan suatu perjanjian gencatan senjata dengan rezim dan berada di bawah
komando SPDC ( State Peace and
Development Council ).[8]
Dalam
proses perekrutan anak sebagai tentara, Tatmadaw Kyi melakukan hal tersebut
dengan cara intimidasi, pemaksaan, dan juga iming – iming gaji besar. Sehingga
banyak anak – anak tersebut berkeinginan masuk menjadi anggota militer. Cara
lain yang dilakukan adalah dengan memalsukan umur anak – anak dibawah usia 18
tahun, perekrut memalsukan umur pada dokumen registrasi ditempat perekrutan
bahkan juga sampai mengubah biografi dari seorang anak dengan mengganti nama
orang tuanya sehingga banyak para orang tua kesulitan mencari anaknya.
Berdasarkan kajian Child Soldiers
International, pemalsuan umur terjadi di setiap tahap perekrutan.[9]
Selanjutnya
adalah adanya bukti perekrutan anak sebagai tentara yang dilakukan oleh BGF
(Borders Guard Forces). Prosedur
perekrutan tentara anak yang dilakukan oleh BGF ( Borders Guard Forces ) lebih sedikit merekrut tentara anak
dibandingkan dengan pihak Tatmadaw Kyi, namun meski begitu banyak faktor yang
menyebabkan anak – anak bergabung menjadi tentara pihak BGF ( Borders Guard Forces ) yang pertama
adalah anak – anak disini tidak mempunyai pilihan lain untuk bergabung menjadi
tentara, karena keterpaksaan mereka dan pihak keluarga , lalu adalah adanya
ambisi pribadi berupa balas dendam yang dilakukan oleh anak – anak tersebut
akibat dari pihak militer Tatmadaw Kyi yang telah merenggut keluarga dan
wilayah mereka.
Pada tahun
2010 progam perekrutan paksa skala besar dilakukan, hal ini dipicu karena
menipisnya jumlah tentara akibat dari pembelotan dan perintah dari Tatmadaw Kyi
untuk membuang tentara berdasarkan umur lebih dari 50 tahun. Kehadiran calon
anggota militet dibawah umur 18 tahun dipastikan dalam proses perekrutan.[10]
Mayoritas anak –anak yang direkrut berasal dari kalangan miskin, dari wilayah
pedesaan dan minim mendapatkan pelayanan serta akses pendidikan.
Bahkan sampai saat ini pun masih terjadi praktek
perekrutan anak untuk dijadikan sebagai pasukan militer oleh Myanmar meskipun
telah ada sebuah upaya reformasi yang dilakukan oleh militer Myanmar untuk
membebaskan para tentara anak yang masih bergabung dalam kesatuan
militernya.seperti yang dikutip dalam artikel berita berikut.
“ YANGON – Myanmar
melepaskan 109 anak-anak dari lingkungan militer, Kamis (25/9), kebijakan
terbesar yang ditempuh negara ini dalam mereformasi militernya. Meski demikian,
PBB menyatakan, masih ada perekrutan ilegal tentara anak-anak dari keluarga miskin. Bertahun-tahun,
Myanmar masuk dalam daftar negara yang merekrut anak-anak menjadi tentara.
Tentara anak bukan hanya ada di tentara pemerintah, tetapi juga pemberontak.
Militer selama 49 tahun mengendalikan Myanmar. Komunitas internasional sering
melontarkan kecaman pada Myanmar karena pelanggaran HAM. Termasuk di dalamnya
menggunakan anak-anak sebagai tentara. Kini, secara berangsur melakukan
perubahan, termasuk mereformasi tentara. Kepala
United Nations Children Fund di Myanmar Bertrand Bainvel menjelaskan, militer
ingin meningkatkan profesionalisme tentara.’’Keberadaan tentara anak menghambat
kerja sama militer dengan negara lain,’’ katanya. Pemerintahan semi militer sejak 2011
berupaya menjalankan program-program reformasinya. Mereka, ujar Bainvel,
bekerja sama dengan PBB untuk mengeluarkan anak-anak dari lingkungan militer.
Sejak Juni 2012, termasuk Kamis (25/9), sudah ada 472 anak yang
dibebastugaskan. Menurut Bainvel, Tatmadaw, nama tradisional
militer Myanmar, mempunyai komitmen menghapus tentara anak. Meski demikian, ia
mengakui, perekrutan anak-anak untuk dijadikan tentara masih berjalan.
Jumlahnya sudah menurun dibandingkan sebelumnya.
Sebagian besar anak-anak yang sekarang masih
direkrut berasal dari keluarga-keluarga miskin. Mereka bersedia menyerahkan
anak-anaknya untuk memperoleh tambahan penghasilan. Yangon dan Mandalay
merupakan dua lokasi perekrutan terbesar.
Banyak warga sipil yang menjadi perantara perekrutan berkeliaran di Yangon dan Mandalay. Keadaan ini membuat pendataan jumlah perekrutan tentara anak sulit. "Sulit memperoleh angka pastinya," kata Bainvel.
Selain itu, PBB menunjukkan pasukan gerilya dari tujuh etnik minoritas yang masih berperang dengan pemerintah juga melibatkan anak-anak. Mereka biasanya berusia di bawah 18 tahun.” [11]
Banyak warga sipil yang menjadi perantara perekrutan berkeliaran di Yangon dan Mandalay. Keadaan ini membuat pendataan jumlah perekrutan tentara anak sulit. "Sulit memperoleh angka pastinya," kata Bainvel.
Selain itu, PBB menunjukkan pasukan gerilya dari tujuh etnik minoritas yang masih berperang dengan pemerintah juga melibatkan anak-anak. Mereka biasanya berusia di bawah 18 tahun.” [11]
Dari artikel berita
tersebut membuktikan bahwa masih terdapat tentara anak ( child soldiers ) dalam kesatuan militer Myanmar, meskipun dalam
jumlah yang sudah berkurang walaupun belum ada data pasti terkait jumlah
tersebut dikarenakan adanya suatu keadaan yang menyulitkan untuk melakukan
sebuah pendataan dan pengurangan ini timbul akibat sudah adanya upaya dari
pihak militer Myanmar untuk melakukan reformasi terhadap militernya akibat dari
berbagai kecaman yang diterimanya oleh berbagai pihak.
B.III Upaya Untuk Mencegah
Keterlibatan Anak Sebagai Tentara Dalam Perang
Perekrutan anak untuk menjadi seorang tentara dalam
sebuah konflik bersenjata jelas merupakan sebuah perbuatan yang tidak
dibenarkan oleh berbagai aturan yang terkait mengatur hal tersebut. Untuk itu
diperlukan adanya suatu upaya untuk mencegah hal tersebut terjadi kembali.
Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perekrutan tentara anak masih terus
terjadi sampai saat ini yaitu :
1.
Sifat anak-anak
Anak-anak rentan terhadap ancaman patuh, kecil kemungkinan untuk melarikan diri dari orang dewasa. Jika mereka dipaksa memakai narkoba, lebih mudah mengikuti perintah. semakin murni hati mereka, semakin mudah untuk merubah mereka menjadi prajurit brutal jika dicuci otaknya.
Anak-anak rentan terhadap ancaman patuh, kecil kemungkinan untuk melarikan diri dari orang dewasa. Jika mereka dipaksa memakai narkoba, lebih mudah mengikuti perintah. semakin murni hati mereka, semakin mudah untuk merubah mereka menjadi prajurit brutal jika dicuci otaknya.
2.
Senjata yang ringan
Zaman dulu,senjata-senjata terlalu berat bagi anak-anak. Tetapi senjata yang dibuat oleh Amerika Serikat ataupun Uni Soviet setelah perang dunia kedua jadi populer di dunia. Khususnya, AK-47(diciptakan 1947 oleh Uni Soviet) sangat mudah dibongkar dan disusun meskipun oleh anak berusia 10 tahun, terjual lebih dari 55 juta AK-47, satu buah sekitar Rp200rib-Rp500rib saja.
Zaman dulu,senjata-senjata terlalu berat bagi anak-anak. Tetapi senjata yang dibuat oleh Amerika Serikat ataupun Uni Soviet setelah perang dunia kedua jadi populer di dunia. Khususnya, AK-47(diciptakan 1947 oleh Uni Soviet) sangat mudah dibongkar dan disusun meskipun oleh anak berusia 10 tahun, terjual lebih dari 55 juta AK-47, satu buah sekitar Rp200rib-Rp500rib saja.
3.
Kekurangan tentara dewasa
Karena berkepanjangan konflik tentara dewasa jadi kurang. Anak-anak digunakan untuk memasak atau membawa barang-barang selain berperang.
Karena berkepanjangan konflik tentara dewasa jadi kurang. Anak-anak digunakan untuk memasak atau membawa barang-barang selain berperang.
4.
Keuntungan anak
Karena badan anak-anak kecil, tidak mudah dilihat jadi dapat bergerak dengan baik, khususnya ketika gerilya. Juga digunakan sebagai mata-mata dan pengantar pesan.
Karena badan anak-anak kecil, tidak mudah dilihat jadi dapat bergerak dengan baik, khususnya ketika gerilya. Juga digunakan sebagai mata-mata dan pengantar pesan.
5.
Musuh-musuh dapat lengah dengan mudah.
6.
Mudah disediakan
Kebanyakan dengan cara menculik anak.
Kebanyakan dengan cara menculik anak.
7.
Rela menjadi tentara
Kadang-kadang, anak-anak menjadi tentara hanya untuk bertahan hidup. Memang, menjadi tentara bisa dapat sesuatu sebagai tempat berlindung, melayani sebagai semacam keluarga pengganti. Anak-anak dapat bergabung jika mereka percaya bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menjamin makanan harian, pakaian atau perhatian medis.
Juga anak-anak yang dibunuh keluarganya bisa jadi tentara untuk balas dendam.[12]
Kadang-kadang, anak-anak menjadi tentara hanya untuk bertahan hidup. Memang, menjadi tentara bisa dapat sesuatu sebagai tempat berlindung, melayani sebagai semacam keluarga pengganti. Anak-anak dapat bergabung jika mereka percaya bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk menjamin makanan harian, pakaian atau perhatian medis.
Juga anak-anak yang dibunuh keluarganya bisa jadi tentara untuk balas dendam.[12]
Langkah konkret yang dapat dilakukan adalah dengan
meratifikasi peraturan – peraturan internasional yang mengatur terkait
perlindungan terhadap anak misalnya seperti konvensi jenewa 1949 serta protokol
tambahan I dan II, konvensi hak – hak anak 1989 serta optional protocol-nya
Tahun 2000.Dalam Optional protocol Tahun 2000 tentang Keterlibatan Anak dalam
Konflik Bersenjata terdapat beberapa poin penting Seperti yang dijelaskan
berikut :
1.
Pasal 1 dalam konvensi tersebut bahwa
negara-negara pihak harus mengambil semua
tindakan
yang mungkin untuk memastikan bahwa orang yang belum mencapai umur 18 tahun tidak dapat mengambil
bagian secara langsung dalam pertempuran.
2. Pasal 2 mengatur tentang rekrutmen anak dalam angkatan
bersenjata. Pasal ini menetapkan bahwa negara peserta harus
memastikan tidak merekrut orang
dibawah umur 18 tahun secara wajib ke dalam angkatan bersenjata mereka.
3. Pasal 5 protokol ini menyebutkan bahwa tidak ada
ketentuan satupun dalam protokol ini yang dianggap menghambat ketentuan – ketentuan
hukum dari suatu pihak atau dalam instrument internasional dan dalam hukum
humaniter yang lebih baik dalam mewujudkan hak anak. Dengan kata lain apabila
meratifikasi protokol ini tidak merugikan bagi negara yang meratifikasi
tersebut sebab protokol ini bersifat optional.
4. Pasal 6 mengatur tentang kewajiban negara peserta
untuk mengambil semua tindakan untuk menghentikan perekrutan dan penggunaan
anak – anak yang belum berusia 18 tahun dalam pertempuran. Pasal ini mengatur
pula mengenai kewajiban untuk memberikan semua bantuan yang tepat untuk
pengembalian fisik dan psikologis serta pengintegrasian kembali kehidupan
sosial anak – anak yang telah direkrut dan digunakan dalam pertempuran.
5. Dalam pasal 7 diisyaratkan seluruh negara pihak
peserta agar dapat bekerja sama dalam menuntaskan masalah anak yang terlibat
dalam konflik bersenjata. Hal tersebut dapat digunakan suatu negara sebagai
bukti bahwa negara tersebut serius dalam menuntaskan masalah perekrutan tentara
anak serta agar mayarakat internasional dapat mengawasi jalannya proses
tersebut.
Diharapkan dengan
meratifikasi konvensi atau instrumen – instrumen hukum internasional tersebut
dapat menyadarkan para negara peserta bahwa sesuai yang diatur dalam instrumen
– instrumen tersebut yang intinya dengan jelas melarang keterlibatan anak dalam
sebuah pertikaian bersenjata. Sehingga masalah tentara anak ini dapat berakhir
dan tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
Upaya
selanjutnya adalah dengan membeikan sanksi yang nyata terhadap oknum atau pelaku
yang memanfaatkan anak sebagai tentara dalam sebuah konflik bersenjata. Seperti
pada tanggal 14 Maret 2012 yang lalu. International
Criminal Court ( ICC ) di Den
Haag Belanda telah memutuskan bahwa komandan pasukan pemberontak Kongo yaitu
Thomas Lubanga dinyatakan bersalah dan mendapatkan hukuman penjara selama 14
tahun karena terbukti dalam tindakannya yang merekrut dan menggunakan anak –
anak dibawah usia 15 tahun untuk bergabung dengan pasukannya melawan pemerintah
Kongo selama perang saudara di Kongo. Peristiwa ini juga merupakan peristiwa
yang penting terkait dengan kepastian hukum yang diberikan sekaligus menjadi
momentum untuk mewujudkan suatu keadilan bagi tentara anak.
Selain
dengan memberikan sanksi yang nyata bagi pelanggar, solusi lain yang dapat
dilakukan adalah dengan membentuk sebuah badan atau komite khusus yang bergerak
menangani kasus yang melibatkan tentara anak dalam sebuah konflik disuatu
negara. Badan atau komite ini dibentuk secara khusus pada wilayah – wilayah
yang sedang berkonflik dan terindikasi melibatkan anak - anak sebagai tentara
dalam konflik tersebut.
Dimana fungsi dan tugas dari komite
khusus tersebut adalah untuk mengawasi, mencegah , dan menghentikan perekrutan anak untuk dijadikan sebagai
tentara, dengan dibentuknya komite khusus ini diharapkan dapat membantu
terwujudnya penyelesaian masalah penggunaan tentara anak ini, sekaligus menjadi
bukti bahwa negara tersebut serius dalam mengatasi permasalahan yang melibatkan
anak sebagai tentara dalam sebuah pertikaian bersenjata yang terjadi di wilayah
pemerintahannya.
Dan
terakhir upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah dengan memaksimalkan
peran dari organisasi – organisasi internasional yang berperan mengurusi
permasalahan terkait dengan keterlibatan anak sebagai tentara dalam sebuah
konflik bersenjata di suatu negara. Beberapa dari organisasi internasional yang
terkait dalam mengurusi masalah tentara anak ini diantara lain adalah UNICEF
dan ICRC ( The International Committee of
The Red Cross ). Contohnya adalah seperti upaya penyelesaian masalah
perekrutan tentara anak yang dilakukan melalui UNICEF terhadap kasus di
Myanmar, dimana pada tahun 2012 yang lalu UNICEF mengeluarkan rumusan kebijakan
guna penyelesaian kasus perekrutan tentara anak di Myanmar, dimana rumusan
tersebut dikenal dengan nama Joint Action
Plan dan disetujui sekaligus ditanda tangani oleh pihak Myanmar. Hal ini
menjadi momentum yang bagus melihat adanya suatu itikad baik dari Myanmar untuk
menyelesaikan permasalahan tersebut, dimana dalam Joint Action Plan ini kedua belah pihak yakni Myanmar dan UNICEF
setuju untuk menghentikan, dan mengembalikan anak – anak yang telah bergabung
menjadi pasukan tentara kepada keluarga mereka juga hak – hak yang seharusnya
mereka peroleh sebagai anak – anak misalnya seperti mendapatkan pendidikan dan
juga lainnya.
Lalu
peran dari ICRC pun tak kalah penting dalam menyelesaikan masalah perekrutan
tentara anak ini. ICRC berhak melakukan intervensi khusus seperti mengharuskan
pemerintah negara berkonflik untuk meratifikasi perjanjian internasional dan
juga mengimplementasikannya dalam hukum nasional yang berlaku. Lalu memberikan
semacam pendidikan terhadap para pihak yang sedang berkonflik dengan
menjelaskan terkait hal seperti prinsip , aturan , dan juga penerapan hukum
humaniter internasional. Melalui hal inilah diharapkan menumbuhkan kesadaran
terhadap negara yang sedang berkonflik akan pentingnya penerapan hukum
humaniter internasional guna melindungi para pihak – pihak yang telah
ditetapkan dalam peraturan dan juga untuk meminimalisir dampak perang. Sehingga
masalah terkait dengan perekrutan anak sebagai tentara dalam sebuah pertikaian
bersenjata dapat diselesaikan.
C. Kesimpulan
Dalam hukum
humaniter kasus perekrutan anak untuk dijadikan sebagai tentara dalam sebuah
pertikaian bersenjata, merupakan sebuah perbuatan yang jelas telah dilarang
dalam hukum humaniter. Karena melanggar beberapa asas dan juga aturan – aturan
dalam hukum humaniter yang bersumber dari Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol
Tambahan I dan Tambahan II Tahun 1977. Dalam kasus yang terjadi di Myanmar
sendiri dimana perekrutan tentara anak tersebut melibatkan pihak militer
Myanmar Tatmadaw Kyi dan juga pihak pemberontak BGF ( Borders Guard Forces ) yang dipicu oleh konflik politik yang
terjadi di wilayah tersebut. Anak – anak tersebut bergabung karena beberapa
faktor yakni keterpaksaan , karena kemiskinan ( diiming – imingi gaji besar ) ,
dan juga latar belakang ingin balas dendam terhadap pihak yang telah merenggut
keluarga dan wilayah mereka. Untuk mengatasi masalah perekrutan anak yang
terjadi di dunia saat ini diperlukan
upaya konkret seperti kewajiban tiap negara meratifikasi instrument hukum
internasional/perjanjian internasional yang terkait dengan perlindungan anak ,
menindak tegas pelaku yang terlibat dengan kasus perekrutan tentara anak dengan
hukuman yang setimpal , lalu dengan membentuk komite khusus yang bertugas
melindungi , mencegah dan menghentikan perekrutan tentara anak di suatu negara
untuk mempercepat proses penyelesaian masalah ini dan terakhir dengan
memaksimalkan peran dari organisasi internasional misalnya sperti UNICEF dan
ICRC untuk ikut membantu menyelesaikan masalah tentara anak di suatu negara.
Diharap kan melalui berbagai upaya tersebut dapat mengakhiri masalah tentara
anak. Sehingga di masa depan tidak ada lagi peristiwa yang memilukan bagi anak
– anak sebagai para calon penerus bangsa.
Daftar Pustaka
Prof. KGPH. Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, PT
Raja Grafindo Persada, 2005, hlm 3
Narwati, Enny, and Lina Hastuti.”Perlindungan
Hukum Terhadap Anak dalam Konflik Bersenjata.” Jurnal Penelitian Dinas Sosial 7.1 (2008).
Hukum, Direktorat Jendral, dan Perundang
undangan Departemen Kehakiman “Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun 1949.”(1999).
Departemen, Direktorat Jendral
Administrasi Hukum Umum. "Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Rebublik
Indonesia. 2003." Protokol
Tambahan pada Konvensi–Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 dan yang Berhubungan
dengan Perlindungan Korban–Korban Pertikaian–Pertikaian Bersenjata Internasional
(Protokol I) dan Bukan Internasional (Protokol II).
Child Soldiers International.Chance for Change:
Ending The Recruitment and Use of Child
Soldiers Myanmar. January 2013. 9 Marshallsea Road: London. Hlm 13
Child Soldiers International.Chance for Change:
Ending The Recruitment and Use of Child
Soldiers Myanmar. January 2013. 9 Marshallsea Road: London. Hlm 18
Child Soldiers International.2013.Chance for
Change: Ending the Recruitment and Use of Child Soldiers in Myanmar. H 26
Diakses pada 27 Mei 2017. (http://www.child-soldiers.org/research_report_reader.php?id=624
http://www.republika.co.id/berita/koran/internasional-koran/14/09/26/nci5hx24-myanmar-lepas-tentara-anak ( Diakses pada 28 Mei 2017 )
https://prezi.com/bny_gtpftp39/child-soldiers-anak-tentara/ by Tayuko Matsumura ( Diakses
pada tanggal 28 Mei 2017 )
[1] Prof. KGPH. Haryomataram,
Pengantar Hukum Humaniter, PT Raja Grafindo Persada, 2005, hlm 3
[2] Narwati, Enny, and Lina
Hastuti.”Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Konflik Bersenjata.” Jurnal
Penelitian Dinas Sosial
7.1 (2008).
[3] Hukum, Direktorat Jendral, dan
Perundang undangan Departemen Kehakiman “Terjemahan Konvensi Jenewa Tahun
1949.”(1999).
[4] Departemen,
Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum. "Kehakiman dan Hak Asasi
Manusia Rebublik Indonesia. 2003." Protokol
Tambahan pada Konvensi–Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949 dan yang Berhubungan
dengan Perlindungan Korban–Korban Pertikaian–Pertikaian Bersenjata
Internasional (Protokol I) dan Bukan Internasional (Protokol II).
[5] Ibid.
[6] Child Soldiers International.Chance
for Change: Ending The Recruitment and
Use of Child Soldiers Myanmar. January 2013. 9 Marshallsea Road: London. Hlm
13
[7] Ibid. Hlm 14
[8] Ibid. Hlm 23
[9] Child Soldiers International.Chance
for Change: Ending The Recruitment and
Use of Child Soldiers Myanmar. January 2013. 9 Marshallsea Road: London. Hlm
18
[10] Child Soldiers
International.2013.Chance for Change: Ending the Recruitment and Use of Child
Soldiers in Myanmar. H 26 Diakses pada 27 Mei 2017. (http://www.child-soldiers.org/research_report_reader.php?id=624 )
[11] http://www.republika.co.id/berita/koran/internasional-koran/14/09/26/nci5hx24-myanmar-lepas-tentara-anak ( Diakses pada 28 Mei 2017 )
[12] https://prezi.com/bny_gtpftp39/child-soldiers-anak-tentara/ by Tayuko Matsumura ( Diakses
pada tanggal 28 Mei 2017 )
Komentar
Posting Komentar